TEMPO.CO, Jakarta - Sidang perdana gugatan ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold oleh Partai Bulan Bintang (PBB) bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mulai digelar hari ini di Mahkamah Konstitusi (MK). Pihak penggugat yakin MK akan menerima gugatan mereka tersebut.
Posisi PBB dalam gugatan ini dinilai penting karena beberapa gugatan sebelumnya kandas karena alasan legal standing pemohon. Dalam putusannya, MK menyatakan pihak yang dapat mengugat presidential threshold adalah partai politik peserta pemilu.
"Maka minimal tidak ada alasan lagi bagi MK untuk menolak kedudukan hukum pemohon," kata Denny Indrayana, kuasa hukum pemohon, dalam keterangan tertulis, Selasa, 26 April 2022.
Pokok gugatan: Pasal 222 UU Pemilu
Secara terpisah, MK juga mengumumkan kalau perkara dengan nomor 52/PUU-XX/2022 ini akan menguji Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal ini berbunyi:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 2O % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoLeh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Ketua DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti dan tiga Wakil Ketua DPD: Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin, disebut sebagai pemonoh satu. DPD menilai Pasal 222 ini telah menderogasi dan menghalangi hak serta kewajiban mereka untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan bagi putra-putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden.
"Selain itu juga merugikan daerah dan semakin memperlebar kesenjangan antara daerah dan pusat," demikian tertulis dalam keterangan MK.
PBB yang diwakili oleh Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor bertindak sebagai pemohon kedua. PBB menganggap pasal tersebut mengurangi hak konstitusional mereka untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden karena terdapat syarat perolehan suara pada pemilu sebelumnya sebesar 20 persen.
"Dengan alasan tersebut kedua Pemohon dalam petitumnya meminta MK untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian tulis MK.
Yusril Bawa 10 Alasan Baru
Gugatan presidential threshold bukanlah yang pertama karena sudah belasan kali dilakukan dan selalu ditolak MK. Denny menyebut ada 19 putusan pengujian materi Pasal 222 ini.
Tapi dari 19 itu, Denny menyebut hanya ada 3 putusan yang pokok perkaranya dipertimbangkan. Maka kali ini, PBB dan DPD mengajukan permohonan dengan batu uji yang berbeda dari 3 permohonan Tersebut.
Setidaknya, kata Denny, terdapat 10 alasan permohonan berbeda dari alasan-alasan permohonan sebelumnya.
"Sehingga mengacu pada Pasal 60 UU MK, maka MK berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Para Pemohon," ujar Denny.
Dengan adanya gugatan baru ini, Denny menyebut demokrasi atau daulat rakyat tidak boleh lagi dikalahkan oleh duitokrasi. Pemilihan langsung oleh rakyat, kata dia, harus diselamatkan agar tidak terus dikooptasi kekuatan-kekuatan oligarki yang koruptif.
"Demokrasi kita tidak boleh dibajak oleh kekuatan modal. Ini adalah presiden pilihan rakyat, bukan presiden pilihan uang," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM periode 2011-2014 ini.
Sikap DPD dan PBB
Sidang perdana hari ini digelar dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Selepas sidang, LaNyalla menyebut gugatan ini adalah keputusan bulat rapat paripurna DPD.
“Demokrasi di Indonesia harus diselamatkan dari cengkeraman oligarki partai politik dan kekuatan uang atau duitokrasi," kata eks Ketua Umum Persatuan Sepakbola Indonesia (PSSI) ini.
PBB juga merasa Pasal 222 telah melanggar hak konstitusional mereka dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. PBB menilai semestinya pemilu dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip electoral justice. Sebaliknya, presidential threshold justru memberikan perlakuan berbeda atau diskriminatif kepada partai politik.
"PBB yang telah berdiri dan berjuang sejak masa reformasi merasa seperti diasingkan akibat keberadaan Pasal 222 UU Pemilu tersebut," kata Sekjen PBB Afriansyah Noor.