TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Kejaksaan Agung tidak hanya berhenti mengungkap kasus mafia minyak goreng pada empat tersangka yang ditetapkan saja. Sebab, kasus ini dianggap turut melibatkan banyak pihak.
Peneliti ICW Egi Primayogha menyatakan bahwa perkara tersebut menyebabkan persoalan harga minyak goreng yang melonjak ataupun sempat langka sudah terjadi berlarut-larut atau masuk hitungan berbulan-bulan. Karenanya, dia menekankan, permasalahan ini juga diduga akibat permainan kartel.
"Jadi saya rasa pengungkapan adanya dugaan kartel ini penting untuk juga bisa menyelesaikan permasalaham yang terjadi di tengah-tengah masyarakat," kata dia di Kantor KPPU, Jakarta, Selasa, 26 April 2022.
Oleh sebab itu, dia berpendapat, Kejaksaan Agung harus bisa mengembangkan kasus ini usai menangkap empat tersangka yang diduga terlibat korupsi dalam kasus mafia minyak goreng itu. Mulai dari tersangka perseorangan hingga korporasi.
"Kami dari ICW mendorong Kejaksaan Aging untuk memperluas cakupan kasus tidak hanya berhenti pada 4 orang tersangka tapi juga kepada aktor-aktor lain baik itu individu, baik dari eksekutif maupun yang lain atauapun juga korporasi," kata Egi.
Pengembangan penetapan tersangka itu menurut dia sangat memungkinkam bila Kejaksaan Agung bersinergi dengan KPPU, KPK, hingga Kepolisian. Sehingga yang ditangkap, tidak hanya Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana, Stanle MA (SMA), Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Master Parulian Tumanggor (MPT), Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, serta Picare Togar Sitanggang (PT), General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas.
ICW juga telah menyoroti bahayanya kebijakan Kementerian Perdagangan dalam menanangai permasalahan minyak goreng. Diantaranya Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 tahun 2022. Dengan kebijakan ini, pemerintah mewajibkan eksportir CPO untuk terlebih dulu memasok minimal 20 persen dari volume ekspornya untuk kebutuhan domestik.
Di satu sisi, ICW menganggap, kebijakan DMO diharapkan menjadi jurus paksa pemerintah terhadap eksportir agar memasok kebutuhan dalam negeri jika ingin mendapat persetujuan ekspor (PE). Bersama dengan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET), pemerintah bermaksud menjaga stok dan kestabilan harga.
Namun di sisi lain, angka 20 persen dalam bisnis, menurut ICW merupakan angka yang signifikan sehingga tanpa pengawasan yang memadai, kebijakan tersebut membuat persetujuan ekspor rentan suap atau transaksional. Kebijakan tersebut juga disebut tak disertai sanksi yang signifikan, misalnya dikaitkan dengan Hak Guna Usaha (HGU) lawah perkebunan sawit.
"Dugaan suap Dirjen Daglu Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana bersama 3 individu dari PT Wilmar Nabati Indonesia, Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas dapat dilihat menjadi salah satu sebab tidak efektifnya DMO dan HET. Namun dalam kasus ini, Kejagung perlu menelusuri dugaan keterlibatan korporasi dan aktor lain lain, khususnya pejabat di Kemendag," kata Egy.
Dalam kasus mafia minyak goreng ini, Kejaksaan Agung menduga ada permainan dalam penerbitan izin ekspor yang dilakukan Indrasari Wisnu Wardhana kepada tiga perusahaan tersebut. Hanya saja, hingga saat ini Kejagung belum bisa memastikan apakah Indrasari menerima keuntungan dari perbuatannya tersebut.