TEMPO.CO, Jakarta - Undang-Undang Tidak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengatur jenis tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik.
Dalam salinan UU TPKS yang diperoleh Tempo, Pasal 14 Ayat (1) menyebutkan tiga hal yang termasuk dalam perbuatan kekerasan seksual berbasis elektronik, yakni melakukan perekaman dan atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi obyek perekaman atau gambar atau tangkapan layar.
Kedua, mentransmisikan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual.
Ketiga, melakukan penguntitan dan atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual.
Bagi setiap orang yang melakukan ketiga hal tersebut dapat dipidana dengan jerat melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik.
"Dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan atau denda paling banyak Rp 200 juta," beleid tersebut.
Sementara itu, bila perbuatan yang telah disebutkan di atas dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa, atau menyesatkan dan memperdaya, seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, ancaman hukuman diperberat menjadi pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp300 juta.
Adapun pada ayat 3 dijelaskan, kekerasan seksual berbasis elektronik merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.
Berikutnya, bila melakukan perekaman dan mentransmisikan informasi elektronik dilakukan untuk kepentingan umum atau untuk membela diri, maka tidak dapat dipidana.
"Dalam hal korban kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b merupakan anak atau penyandang disabilitas, adanya kehendak atau persetujuan korban tidak menghapuskan tuntutan pidana," begitu bunyi aturan tersebut.
DEWI NURITA