INFO NASIONAL - Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, mengapresiasi pelaksanaan fit and proper test yang dilakukan Komisi XI DPR RI terhadap beberapa calon Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2022-2027. Antara lain Mahendra Siregar, Darwin Cyril Noerhadi, dan Mirza Adityaswara. Ketiganya termasuk putra terbaik bangsa yang memiliki kompetensi, kapasitas, kapabilitas, dan profesionalisme dengan rekam jejak bagus di sektor industri jasa keuangan.
Mahendra Siregar saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia. Sebelumnya, Mahendra menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat (2019), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (2013-2014), Wakil Menteri Keuangan Indonesia (2011-2013) serta Wakil Menteri Perdagangan (2009-2011).
Baca juga:
Sementara Darwin Cyril Noerhadi menduduki jabatan sebagai Anggota Dewan Pengawas Lembaga Pengelola Investasi (LPI) serta Chairman Creador Indonesia yang berhasil mengembangkan private equity fund mencapai US$ 1,5 miliar dan diinvestasikan di Indonesia, Malaysia, dan Vietnam. Darwin juga pernah menjadi Komisaris Utama dan Komisaris Independen PT Mandiri Sekuritas (2012-2020).
Sedangkan Mirza Adityaswara, saat ini menduduki jabatan sebagai Komisaris Utama dan Komisaris Independen PT Mandiri Sekuritas, serta Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia. Sebelumnya, ia pernah menduduki jabatan sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2014-2019), Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) Ex-Officio dari Bank Indonesia, Kepala Eksekutif LPS sekaligus Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tahun 2012, Managing Director, Head of Capital Market, Mandiri Sekuritas, sekaligus sebagai Kepala Ekonom Bank Mandiri Group (2008–2010).
Bamsoet menyatakan bahwa calon Dewan Komisioner OJK yang nanti terpilih akan memikul tanggung jawab berat untuk segera mengembalikan marwah OJK sebagai lembaga yang profesional, berwibawa, dan dihargai berbagai kalangan. Terutama dalam menghadapi digitalisasi keuangan dan ekonomi digital yang perkembangannya semakin pesat. Mulai dari sektor teknologi finansial, perdagangan elektronik (e-commerce), hingga metaverse.
“Sebagai gambaran, laporan Google Temasek & Bain, valuasi ekonomi digital Indonesia bertumbuh 49 persen di tahun 2021 menjadi 70 miliar dollar AS dan diprediksi menjadi 146 miliar dollar AS di tahun 2025," ujar Bamsoet di Gedung MPR RI, Jakarta, Rabu, 6 April 2022.
Bamsoet menjelaskan bahwa di sektor e-commerce, Bank Indonesia mencatat transaksi pada tahun 2021 lalu sudah mencapai Rp 401 triliun. Sementara tahun ini, Bank Indonesia memprediksi transaksi pada e-commerce bisa mencapai Rp 530 triliun.
"OJK juga harus siap menghadapi lonjakan transaksi perdagangan aset kripto yang semakin pesat di Indonesia. Walaupun saat ini kewenangan peraturan perdagangannya berada di Bappebti, bukan berarti OJK tidak bisa berbuat apa-apa untuk memajukan sektor perdagangan aset kripto agar bisa memberikan banyak manfaat ekonomi bagi Indonesia. Baik dari sisi penerimaan pajak negara, maupun perlindungan konsumen dan kepastian hukum para pelaku perdagangannya," tutur Wakil Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Menurut Finder.com dari hasil survei per Desember 2021 pada 27 negara, Indonesia berada di peringkat ke-4 dunia pengguna kripto. Dari 2.502 pengguna internet yang disurvei di Indonesia, sebanyak 22,4 persen menggunakan kripto. Vietnam menempati posisi pertama dengan tingkat kepemilikan kripto sebesar 28,6 persen. India di peringkat kedua dengan 23,9 persen, dibuntuti Australia dengan 22,9 persen.
"Menurut Kementerian Perdagangan, nilai transaksi aset kripto mencapai Rp 64,9 triliun pada tahun 2020. Meningkat menjadi Rp 859,4 triliun pada tahun 2021. Pada periode Januari hingga Februari 2022 saja, nilai transaksi aset kripto sudah mencapai Rp 83,3 triliun. Pada tahun 2021, kemampuan pasar aset kripto dalam menghimpun dana tersebut jauh lebih besar dibandingkan kemampuan pasar modal konvensional yang jumlahnya masih berada pada kisaran Rp 363,3 triliun. Hingga Januari 2022, jumlah investor aset kripto tercatat sudah mencapai 11,2 juta orang, jauh lebih besar dari jumlah investor di pasar modal berbasis Single Investor Identification (SID) yang jumlahnya baru mencapai sekitar 7,48 juta investor," tutur Bamsoet. (*)