TEMPO.CO, Jakarta - Badan Legislasi DPR hari ini akan menggelar rapat plenao pengambilan keputusan tingkat I Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS. Jika disetujui, maka RUU ini tinggal dibawa ke ke tingkat II yaitu sidang paripurna untuk diketuk palu menjadi UU.
Rapat telah dimulai pukul 10 pagi ini dengan agenda awal laporan tim perumus ke panitia kerja. Beberapa pasal sepakat untuk diubah dalam rapat, salah satunya yang berkaitan dengan pembuktian keterangan saksi atau korban penyandang disabilitas di Pasal 25.
"Jadi ayat 5 yang dihapus," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej memberikan penjelasan dalam rapat di Gedung DPR, Rabu, 6 April 2022.
Pasal 25 ayat 5 ini awalnya berbunyi, “Dalam hal Saksi dan/atau Korban merupakan Penyandang Disabilitas mental dan/atau intelektual, hakim wajib mempertimbangkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa atas kecakapan mental dan/atau intelektual Saksi dan/atau Korban untuk menjalani proses peradilan pidana dalam menilai kekuatan pembuktian dari keterangan Saksi dan/atau Korban tersebut”.
Karena ayat 5 dihapus, maka digantikan dengan ayat 6 di bawahnya yang disepakati berbunyi, “Keterangan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib didukung dengan penilaian personal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai akomodasi yang layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan”.
Sementara itu, Pasal 25 ayat 4 juga diubah. Awalnya berbunyi, "Penilaian atas kekuatan pembuktian dari keterangan Saksi dan/atau Korban Penyandang Disabilitas dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nurani dan kesesuaian dengan alat bukti lainnya dengan memperhatikan kebutuhan khusus Penyandang Disabilitas”.
Bunyi ayat ini diubah dan disepakati menjadi, "Keterangan Korban atau Saksi Penyandang Disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan Korban atas saksi orang yang bukan Penyandang Disabilitas."
"Clear ya?" kata Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya, dan semua peserta mengamininya.
Koalisi Ungkap Pasal Bermasalah
Sebenarnya, Koalisi Nasional Kelompok Kerja Implementasi UU Penyandang Disabilitas sudah meminta rapat pleno pengambilan keputusan tingkat I hari ini ditunda. Penyebabnya karena ada ketentuan bermasalah ini yaitu Pasal 25 ayat 4,5, dan 6.
"Masih ada ketentuan yang problematik," kata koalisi dalam keterangan tertulis di hari yang sama.
Contohnya di Pasal 25 ayat 5 yang mengatur soal pemeriksaan kesehatan jiwa. Koalisi menilai pasal ini keliru karena menempatkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa, sebagai bentuk dari penilaian personal.
Tapi dalam rapat pagi ini, beberapa usulan perubahan pasal yang diajukan koalisi disetujui. Seperti ayat 5 yang dihapus, dan ayat 4 yang diubah.
Anggota koalisi juga membenarkan beberapa usulan diterima dalam rapat. "Benar," kata Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu saat dihubungi.
Dana Bantuan Korban
Aturan berikutnya yang dikoreksi yaitu soal dana bantuan korban di Pasal 35 ayat 1. Awalnya berbunyi "Dalam hal harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (7), negara memberikan kompensasi kepada Korban sesuai dengan putusan pengadilan."
"Pasal 35 ada penambahan frase, sekali lagi tak ubah substansi, agar tidak timbulkan interpretasi," kata Edward.
Frase yang ditambahkan yaitu, "... negara memberikan kompensasi sejumlah Restitusi yang kurang bayar kepada Korban sesuai dengan putusan pengadilan."
Edward mencontohkan putusan pengadilan yang sebesar Rp 100 juta, tapi ternyata hasil kekayaan terpidana hanya Rp 50 juta.
"Berarti kekurangan bayar itu yang dikompensasi," kata dia.
Ini hanyalah sejumlah pasal yang akhirnya disepakati untuk diubah dapat rapat pagi ini. Rapat belum selesai, karena akan kembali dilanjutkan siang ini, pukul 13.00 WIB.
Baca: Ada Pasal Bermasalah, Koalisi Minta Rapat Pengambilan Keputusan RUU TPKS Ditunda