TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Nasional Kelompok Kerja Implementasi UU Penyandang Disabilitas meminta Badan Legislasi DPR serta Kementerian Hukum dan HAM menunda rapat pengambilan keputusan atas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam pembicaraan tingkat I pada hari ini, Rabu, 6 April 2022.
"Masih ada ketentuan yang problematik," kata koalisi dalam keterangan tertulis Rabu 6 April 2022.
Sebelumnya, pengambilan keputusan tingkat I diambil karena Panitia Kerja RUU TPKS telah merumuskan draft RUU TPKS hasil pembahasan bersama pemerintah. Dalam draf terbaru inilah, koalisi menyoroti ketentuan pada 3 ayat di pasal 25 yang bermasalah, terkait penilaian atas kekuatan pembuktian dari keterangan saksi atau korban penyandang disabilitas.
1. Pasal 25 ayat 4
Pasal ini mengatur bahwa, "Penilaian atas kekuatan pembuktian dari keterangan Saksi dan/atau Korban Penyandang Disabilitas dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nurani dan kesesuaian dengan alat bukti lainnya dengan memperhatikan kebutuhan khusus Penyandang Disabilitas”.
Menurut koalisi, pasal ini tidak mencerminkan bentuk pelindungan, tapi justru menjatuhkan nilai keterangan dari saksi atau korban penyandang disabilitas. Aturan ini dinilai berlebihan karena tanpa dituliskan pun hakim wajib melakukannya terhadap keterangan dari saksi atau korban manapun, baik disabilitas maupun non disabilitas.
Dengan pencantumannya dalam pasal ini, kata koalisi, menunjukan bahwa pembentuk RUU TPKS sudah memandang rendah terhadap nilai keterangan dari saksi atau korban penyandang disabilitas. "Hal itu merupakan bentuk dari tindakan diskriminasi," ujar koalisi.
2. Pasal 25 ayat 5
Pasal ini mengatur bahwa, “Dalam hal Saksi dan/atau Korban merupakan Penyandang Disabilitas mental dan/atau intelektual, hakim wajib mempertimbangkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa atas kecakapan mental dan/atau intelektual Saksi dan/atau Korban untuk menjalani proses peradilan pidana dalam menilai kekuatan pembuktian dari keterangan Saksi dan/atau Korban tersebut”.
Koalisi menilai pembentuk RUU TPKS keliru memahami dan menempatkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa, sebagai bentuk dari penilaian personal. Seharusnya, kata koalisi, hasil pemeriksaan itu dijadikan oleh hakim sebagai dasar menyediakan akomodasi yang layak bagi saksi atau korban penyandang disabilitas.
Tujuannya mendukung penyandang disabilitas untuk menghilangkan hambatan yang dihadapinya dalam memberikan keterangan sebenar-benarnya dengan mandiri. Dengan begitu, tidak akan ada nilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi atau korban penyandang disabilitas yang dilemahkan atau dihilangkan karena hasil suatu pemeriksaan kesehatan jiwa.
3. Pasal 25 ayat 6
Pasal ini mengatur bahwa, “Keterangan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) wajib didukung dengan penilaian personal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai akomodasi yang layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan”.
Pasal ini juga dinilai sebagai bentuk kekeliruan pembentuk RUU TPKS dalam memahami fungsi dari penilaian personal bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Penilaian personal seharusnya dimaknai sebagai dasar penyediaan akomodasi yang layak, bukan alat untuk mengukur nilai keterangan saksi atau korban.
Koalisi menilai RUU TPKS ini seharusnya mampu mendukung penyandang disabilitas untuk memberikan keterangan terhadap kasus kekerasan seksual yang menimpanya, apapun kondisinya. Aparat penegak hukum pun seharusnya menjadi pihak yang mampu mendukung upaya untuk menghilangkan segala hambatan.
"Hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam memberikan keterangan sebenar-benarnya dengan mandiri," ujar koalisi.
Dengan adanya pasal yang diskriminatif inilah, koalisi menilai seharusnya pembahasan RUU ini belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan. Untuk itu, koalisi meminta DPR dan pemerintah membuka kembali pembahasan atas Pasal 25 ayat 4, 5, dan 5 ini dengan mendengarkan penjelasan dari koalisi organisasi penyandang disabilitas.
Adapun koalisi ini terdiri dari enam organisasi. Mereka yaitu Pusat Pemilu untuk Aksesblitas Penyandang Disabilitas (PPUA), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), dan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia (PPDFI).
Lalu, Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).