TEMPO.CO, Jakarta - Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRUK) Flores akan melaporkan dugaan pidana perdagangan anak yang berasal Jawa Barat di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Koordinator Divisi Perempuan Relawan, Suster Fransiska Imakulata, mengatakan pengusutan kasus perdagangan orang tersebut belum selesai dengan baik, meskipun kasus itu telah terjadi sejak 2021.
"Kami akan ke Mabes Polri dan Komisi 3 DPR RI untuk menyampaikan tujuan besar kedatangan tim advokasi kasus 17 anak korban TPPO," kata dia saat dihubungi, Rabu, 23 Maret 2022.
Dia mengatakan, pada 14 Juni 2021, Polda Nusa Tenggara Timur menangkap 17 anak yang berasal dari Jawa Barat di salah satu tempat hiburan malam. Mereka kemudian dititipkan di Shelter St. Monika milik TRUK untuk di dampingi.
Sejak saat itu TRUK bersama jaringan HAM Sikka memberi perhatian khusus dan mengadvokasi kasus tersebut hingga saat ini. Namun, baru satu tersangka yang di proses hukum dengan menggunakan UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.
Segala upaya menurut Fransiska telah dilakukan oleh TRUK dan jaringan HAM Sikka, mulai dari bersurat, meminta audiensi dengan Pemerintah Kabupaten Sikka maupun aparat penegak hukum hingga melakukan aksi damai.
"Namun hingga saat ini belum diselesaikan dengan baik sesuai fakta yang ditemukan oleh TRUK dan Jaringan HAM Sikka," katanya.
Atas dasar itu, dia melanjutkan, TRUK dan jaringan HAM Sikka memutuskan untuk datang ke Jakarta dengan agenda utama mendesak Mabes Polri mengambil alih kasus ini.
"Kami juga meminta DPR RI untuk menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap kinerja kerja polisi di daerah khususnya di Sikka dan NTT pada umumnya," kata Fransiska.
Pada Selasa 22 Maret 2022 sebetulnya tim disebutnya sudah menemui LPSK dan Kementerian PPPA untuk mendorong dan memastikan dari segi pendampingan dan pemenuhan hak-hak 13 anak korban.
Fransiska mengatakan LPSK menyebut dari 13 anak, hanya 3 anak yang mau mendapatkan perlindungan dari LPSK. Sedangkan 10 korban perdagangan anak lainnya tidak mau karena orang tuanya tak setuju.