TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 60-an warga Wadas, Purworejo, Jawa tengah, ditangkap paksa polisi, Selasa, 8 Februari 2022. Proses penangkapan berlangsung mencekam. Sejumlah warga perempuan (Wadon Wadas) hingga menangis histeris. Bahkan, terdapat belasan warga juga ikut ditangkap meski masih di bawah umur.
Dilansir dari Tempo.co, polisi mengklaim seluruh proses penangkapan sudah sesuai standar operasional (SOP). Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Komisaris Besar Iqbal Alqudusy, mengatakan penangkapan dilakukan karena warga membawa senjata tajam.
Namun, alasan itu ditampik Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi dan Jaringan, Zainal Arifin. Melalui keterangan tertulisnya, dia menyatakan bahwa benda-benda tajam itu hanya dipakai warga Wadas untuk membuat anyaman bambu atau besek.
"Pada faktanya berdasarkan informasi dari warga, polisi mengambil alat-alat tajam seperti arit, serta mengambil pisau yang sedang digunakan oleh ibu-ibu untuk membuat besek," tuturnya.
Polisi dalam menangkap warga semestinya tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses penangkapan telah diatur dalam sejumlah pasal di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di antaranya sebagai berikut:
Pejabat yang diberi kewenangan
KUHAP hanya memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penangkapan. Tetapi, dalam Pasal 16 Ayat 1 KUHAP, penyidik dapat memerintahkan penyelidik untuk melakukan penangkapan. Dengan begitu, jika tidak ada perintah oleh penyidik, penyelidik tidak berwenang melakukan penangkapan.
Alasan penangkapan
Penangkapan hanya diperbolehkan apabila sudah ‘cukup bukti’. Mengacu Pasal 17 KUHAP, istilah ini dimaknai sebagai ‘seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, minimal terdapat dua alat bukti yang sah.
Alasannya, selain meminimalisir penggunaan subjektifitas penyidik atau penyelidik dalam melakukan penangkapan, juga agar penangkapan tetap memerhatikan dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) tersangka atau terdakwa.
Tata cara penangkapan
Penyidik atau penyidik yang melakukan penangkapan memperlihatkan surat tugas. Di dalamnya, tercantum identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan dan tempat ia diperiksa.
Jika tertangkap tangan, surat perintah penangkapan tidak diperlukan. Tapi, penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat (Pasal 18).
Perspektif HAM
Selain mengacu pada KUHAP di atas, tata cara penangkapan juga perlu mempertimbangkan perspektif HAM. Dilansir dari buku Dasar-dasar Hukum Pidana (2012), tata cara ini terkait dengan aparat kepolisian yang diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan memerhatikan tradisi dan nilai-nilai budaya suatu negara.
Seperti diketahui, esensi HAM adalah penghormatan terhadap martabat dan kemanusiaan manusia. Penangkapan harus mampu mencerminkan hal itu. Perlakuan yang sopan dan tidak merendahkan martabat seseorang. Cara menangkap dan menahan seseorang juga harus mengacu pada prinsip-prinsip etik dan moral.
Jika mengacu pada perspektif HAM ini, prosedur yang dilakukan aparat kepolisian saat penangkapan warga Wadas dinilai tidak sesuai karena terdapat kekerasan. Sebab, menurut Zainal, pengerahan ribuan anggota kepolisian masuk ke Wadas merupakan bentuk intimidasi serta kekerasan secara psikis yang dapat berakibat lebih panjang daripada kekerasan secara fisik.
HARIS SETYAWAN
Baca juga: Polisi Tangkap 64 Warga Wadas, 10 di Antaranya di Bawah Umur