TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan wacana pemerintah untuk memulai vaksin booster akan memunculkan disparitas di tengah masyarakat. Ia menuturkan suntikan dosis ketiga ini menegaskan ada ketimpangan terhadap akses vaksin.
Yang pertama adalah disparitas antara kelas menengah bawah dengan menengah atas. Golongan menengah bawah saat ini banyak yang masih belum mendapat akses vaksin sama sekali.
"Sehingga mereka yang mendapatkan vaksin, terutama vaksin berbayar dan booster, ini pemulihannya akan lebih cepat. Pendapatannya akan lebih besar dibanding mereka yang tak mendapatkan akses atau harus berbayar," kata Bhima dalam diskusi daring, Ahad, 9 Januari 2022.
Disparitas kedua juga akan terjadi antar wilayah. Saat ini pemerintah masih menerapkan persyaratan pemberian vaksin booster yang baru bisa dilakukan bagi daerah yang telah mencapai minimal 70 persen dosis pertama dan 60 persen dosis kedua.
Per 7 Januari 2022, hanya terdapat 244 kabupaten/kota yang mencapai syarat tersebut. Artinya, masih ada 290 kabupaten/kota yang cakupan vaksinasi dosis penuh kurang dari 60 persen.
"Hal ini berarti daerah yang rentan miskin, terutama di luar Jawa, pemulihannya akan lebih lambat pemulihannya dibanding Jawa atau kota besar yang akses vaksinnya baik," kata Bhima.
Bhima juga menyoroti wacana vaksin berbayar. Bagi dia, pemerintah mengulang kesalahan yang hampir sama pada 2021 saat vaksin pertama muncul di Indonesia.
Dengan argumen untuk meringankan beban APBN, pemerintah saat itu sempat mewacanakan vaksin harus berbayar. Namun hal ini akhirnya batal dan vaksin digratiskan. "Ini artinya mengulang kesalahan yang sama yang sudah direvisi, tapi sekarang diulang lagi," kata Bhima.
Ia mengatakan pemerintah masih punya kapasitas untuk memberikan vaksin itu secara gratis sampai target minimal jumlah penduduk yang divaksin tercapai. Namun hal ini sulit dilakukan karena pemerintah ia anggap melakukan kesalahan alokasi pendanaan.
"Pemerintah bilang vaksin booster berbayar agar beban APBN berkurang. Tapi di sisi lain pemerintah banyak menghabiskan anggaran untuk hal yang tak relevan dengan penanganan pandemi Covid-19 di 2022. Pemerintah masih melakukan kesalahan alokasi pendanaan," kata Bhima.
Baca juga: Survei Indikator: 548 Persen Masyarakat Tak Setuju Vaksin Booster