TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Ma'ruf Amin, mengungkapkan perlunya pelurusan makna tentang khittah NU, yang kerap dimaknai sebagai prinsip untuk tidak berpolitik praktis.
"Khittah NU sejatinya adalah khittah ishlahiyah atau landasan perbaikan di bidang agama dan sosial, yang muaranya adalah kemaslahatan bagi umat manusia," kata Ma'ruf Amin yang juga Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, pada peluncuran dan bedah buku Historiografi Khittah dan Politik Nahdlatul Ulama, di Bandarlampung, Rabu 22 Desember 2021.
Saat menjadi pembicara utama, dia mengatakan, khittah NU adalah khittah nabawiyah (khittah kenabian) yang sesuai dengan pidato KH Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal Muqaddimah Qanun Asasi: Innaha jam’iyatul ishlah (organisasi Nahdlatul Ulama ini adalah organisasi perbaikan), yakni ishlah dalam bidang keagamaan dan sosial (diniyyah wa ijtimaiyyah).
"Kita perlu melakukan pelurusan dalam aspek implementasi khittah, dan juga pelurusan langkah-langkah dalam implementasi khittah," ujarnya.
Menurut dia, khittah adalah garis-garis besar yang tidak boleh berubah oleh keadaan apapun. Merupakan pijakan, landasan, pijakan, atau garis-garis besar perjuangan. Khittah NU adalah cara berpikir, bersikap, dan bertindak di dalam NU yang dibangun di atas landasan gerakan perbaikan atau ishlah.
"Khittah itu landasan yang permanen, ia perlu khatawah, sebagai langkah-langkah menuju khittah. Dalam menghadapi umat, khatawah NU adalah upaya-upaya perbaikan. Tetapi dalam menghadapi kebijakan pemerintahan, maka ditempuh jalur politik. Karena Indonesia ini adalah negara demokrasi, maka jalurnya adalah partai politik," katanya.
Ia menegaskan, politik yang dimaksud bukanlah perebutan kekuasaan. Karena kekuasaan merupakan khatawah rabbaniyah. Kekuasaan merupakan natijah atau buah dari perjuangan.
Lebih lanjut, Dewan Syuro Pertama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu juga bercerita tentang perjuangan para kiai NU dalam mendirikan Masyumi, kemudian berpisah dari Masyumi dan mendirikan Partai Nahdlatul Ulama, kemudian berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, kemudian memutuskan tidak berpartai, dan menjelang era reformasi kemudian mendirikan PKB.
"Di sinilah terlihat bagaimana khatawah NU dilakukan dengan penyesuaian sesuai kemaslahatan yang dibutuhkan," katanya seraya menjelaskan alasannya bersama Gus Dur dan para kiai NU lain, kemudian mendirikan PKB.
"Karena ketika NU tidak ke mana-mana, tidak di mana-mana, NU tidak mendapat apa-apa. Saat itu ada istilah NU seperti bulus atau penyu, yang telurnya dibilang halal tetapi penyunya dibilang haram. Massanya diambil, tetapi organisasinya dikerangkeng. Di situ para kiai mengambil khatawah mendirikan PKB," katanya.
Ia juga menyambut baik kehadiran buku Historiografi Khittah dan Politik NU itu, dengan harapan agar bisa memperjelas pemahaman kita tentang Khittah NU, terutama dalam hal hubungan NU dengan politik.
Hal ini penting karena pada saat ini banyak pihak menilai bahwa NU kini diekspresikan sebagai organisasi kemasyarakatan yang cenderung seperti LSM.
Pada sisi lain, ia menambahkan, di kalangan internal NU ada pihak yang menganggap bahwa keterlibatan sebagian tokoh NU dalam politik adalah tidak sesuai dengan khittah NU.