TEMPO Interaktif, Jakarta: Pemakaian Dana Abadi Umat yang dikendalikan Menteri Agama dinilai bermasalah oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Lembaga swadaya ini lantas melaporkan Departemen Agama kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
ICW menilai Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni melanggar ketentuan dalam penggunaan Dana Abadi Umat (DAU) tersebut. Berikut wawancara khusus Tempo dengan Muhammad Maftuh Basyuni yang berlangsung di kantornya, Selasa (6/1).
Bagaimana Anda menjelaskan tentang pengeluaran biaya operasional Badan Pengelola Dana Abadi Umat untuk biaya taktis, tunjangan, maupun perjalanan dinas?
Sebelumnya saya akan menjelaskan apa itu Dana Abadi Umat, yakni uang yang terkumpul dari hasil efisiensi penyelenggaraan haji. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentag Penyelenggaraan Ibadah Haji, didalamnya termasuk mengatur tentang pengelolaan DAU oleh Badan Pengelola DAU. Sedangkan peruntukkannya diatur dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2001, yaitu pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial, ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana ibadah, dan penyelenggaraan ibadah haji.
Bagaiamana dengan biaya operasional Badan Pengelola DAU?
Biaya operasionalnya, perinciannya diatur lagi dalam Keputusan Menteri Agama. Atas dasar itu saya selaku ketua Badan Pengelola DAU maupun seluruh anggota Dewan Pengelola bisa mendapatkan honor, dana taktis, dan sebagainya, bukan atas kehendak sendiri.
Berapa total jumlah dana DAU?
Pertama kali diterima saat serah serta terima jabatan (dari Said Aqil Husein Al Munawar ke M. Maftuh Masyuni) Rp 382 miliar dan US$ 15 juta. Setelah Tim Tastipikor (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) melakukan penyelidikan ternyata ditemukan lagi yang jumlahnya mencapai Rp 303,5 miliar dan US$ 62 juta. Setelah digabungkan jumlahnya mencapai Rp 685,616 miliar dan US$ 77,120 juta. Terkahir, hingga November lalu jumlahnya mencapai Rp 698 miliar dan US$ 79 juta.
Bagaimana aliran pemasukan DAU sekarang?
Sejak saya menjabat pemasukkannya sudah tidak lagi signifikan karena saya beranggapan ongkos naik haji adalah titipan jemaah, sehingga jika ada kelebihan dikembalikan lagi kepada pemiliknya. Misalnya, sewa rumah, kalau kurang dari plafon maka sisanya dikembalikan kepada jemaah. Berbeda dengan sebelumnya, penyewaan rumah di Mekkah menggunakan sistem subsidi silang, sehingga ada rumah yang harganya di atas plafon dan di bawah plafon. Ini tidak adil karena jemaah yang mendapat rumah lebih jelek dan lebih jauh harus mensubsidi jemaah yang rumahnya lebih baik.
Seperti apa penggunaan DAU sejak Anda menjabat?
Saya menerima tunjangan dua kali pada November dan Desember 2004 masing-masing sebesar Rp 15 juta yang diatur dalam Keputusan Menteri Nomor 88 Tahun 2003. Saya melihat jumlah tersebut terlalu besar sehingga pada Januari saya merevisinya dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 23 Tahun 2005 yang besaran tunjangannya menjadi Rp 5 juta.
Mengapa pada akhirnya Anda memutuskan untuk menutup DAU?
Saya merasakan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2001 multitafsir sehingga saya mengusulkan kepada Presiden agar menyempurnakannya. Mulai Mei 2005 sudah dibekukan kecuali hal-hal yang sangat tidak dapat dihindari yakni untuk dana talangan.
DAU berasal dari jemaah haji sehingga talangan juga digunakan untuk keperluan ibadah haji, misalnya ketika Keputusan Presiden tentang Biaya Penyelenggara Ibadah Haji belum keluar, kami menggunakan DAU untuk urusan seperti paspor, buku manasik, penyewaan rumah. Setelah Keputusan Presiden keluar, uang itu dikembalikan. Jadi DAU tidak pernah berkurang.
Dengan demikian pengeluaran DAU sebenarnya punya dasar hukum yang kuat, mengapa ditutup?
Alasannya Keputusn Presiden yang sangat multitafsir, saya bisa mengatakan boleh tapi Anda bisa mengatakan tidak boleh, itu yang saya hindari.
Mengapa hingga sekarang belum ada Keputusan Presiden yang baru?
Keputusan Presiden itu berbarengan dengan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 yang menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008. Undang-undang memerlukan peraturan pemerintah, sehingga dari pada bolak-balik akhirnya diputuskan menunggu peraturan pemerintah selesai. Itu terdorong oleh kekhawatiran saya, jangan sampai masuk ke lubang yang sama dengan pendahulu saya.
Perlu saya tegaskan, menteri sebelumnya (Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar, terpidana korupsi dan dihukum lima tahun pernjara) terkena kasus bukan karena Keputusan Menteri Agama yang dibuat. Kalau hal itu yang terjadi tentunya seluruh anggota Badan Pengelola DAU ikut berbondong-bondong masuk penjara.
(Dalam catatan Tempo ketika sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 9 Januari 2006, Said Agil Husein Al Munawar mengakui selama menjadi menteri menerima Dana Abadi Umat dan dana untuk Badan Penyelenggaraan Ibadah Haji sebesar Rp 4,5 miliar. Dana itu merupakan akumulasi dana taktis, uang lelah, uang transpor, honor, insentif, dan tunjangan lain di luar gajinya sebagai Menteri Agama).
Apakah penggunaan DAU untuk operasional menteri seperti kunjungan ke luar negeri itu memang dimungkinkan?
Ya, hal itu diatur dalam Keputusan Menteri Agama. Juga harus diketahui perjalanan itu tidak dibiayai oleh APBN, sehingga tidak terjadi duplikasi. Tradisinya memang seperti itu, dan menteri juga tidak mungkin selalu bertanya ini uang berasal dari mana. Sejak DAU dibekukan, perjalanan dinas dibiayai oleh negara. Mungkin pertanyaannya apa hubungannya perjalanan dinas ke Vatikan dibiayai oleh DAU, ya karena saat itu tidak ada dana lain selain itu.
Bagaimana dengan pembiayaan seperti acara open house di rumah dinas?
Dasarnya Keputusan Menteri. (Bahrul Haya , Sekretaris Jenderal Departemen Agama, ikut menjelaskan bahwa Menteri Agama tidak mungkin selalu bertanya dari mana uangnya berasal. Lagi pula setelah dibekukan, semua menjadi tanggung jawab negara).
Sebelum dibekukan, DAU telah digunakan untuk apa saja?
Dalam bidang sosial, misalnya, untuk menyumbang sejumlah tokoh yang sakit seperti Z.A. Maulani (purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir letnan jenderal. Bekas Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara itu sudah almarhum) atau biaya pengobatan Yunan Nasution, penggagas dan pendiri Islamic Village. Ada juga renovasi asrama haji di Aceh yang terkena tsunami pada awal 2005 sebesar Rp 2 miliar lebih.
Bagaimana Anda merespons laporan ICW ke KPK?
Saya kan sudah pernah mengatakan agar KPK diberi kesempatan mempelajarinya, kalau saya dipanggil tentu sebagai warga negara memang mau lari ke mana?
Bagaimana mengenai dana Badan Penyelenggara Ibadah Haji yang digunakan untuk membiayai rapat bersama DPR?
Dulu, seluruh pembiayaan akibat dari pengurusan haji dibebankan kepada jemaah. Pada zaman Orde Lama, jemaah haji diuntungkan karena pembiayaan haji dibebankan kepada negara akibat inflasi yang tinggi. Awal Orde Baru, tepatnya 1967, berubah lagi seluruh pengeluaran dbebankan pada jemaah termasuk biaya petugas dan rapat. Tidak terkecuali hingga pada zaman saya menjabat.
Perlahan-lahan mulai diubah pada 2006 ini. Jemaah hanya membayar untuk kepentingannya yakni administrasi, paspor, asuransi kesehatan, ongkos, pemondokan, katering, serta kewajiban pada pemerintah Arab Saudi.
Dana lain diluar kepentingan jemaah secara langsung, hanya ada dua sumber yakni APBN yang mensubsidi pelayanan kesehatan dan biaya petugas dan yang lainnya dari optimalisasi bunga dana jemaah yang penggunaannya dibahas dengan DPR. Meski itu dana jemaah tetapi tidak bisa dikutip begitu saja, harus melalui pengesahan dengan DPR.
Sejak 2006 biaya rapat dengan DPR dibiayai APBN?
Ya, itu kalau rapat di luar gedung DPR, tapi kalau yang mengundang DPR tetap menjadi tanggung jawab DPR.
Apa yang menjadi dasar perubahan kebijakan Badan Penyelenggara Ibadah Haji?
Untuk meningkatkan pelayanan pada jemaah.
Bagaimana dengan laporan ICW bahwa ada sisa uang jemaah lebih dari Rp 800 miliar dari tiket penerbangan?
Itu kontrak dengan pihak penerbangan tanpa menyebutkan perkiraan kenaikan atau penurunan harga minyak. Pengalaman tahun lalu, penerbangan rugi dan dua kali mengajukan permintaan untuk tambahan ongko. Saya tidak bisa memenuhi karena dari mana uang itu. Kami tidak bisa menagih kepada jemaah. Logikanya, kalau sekarang saya minta uang kepada mereka karena adanya penurunan harga minyak jawabannya akan sama. Sehingga, jika ICW bisa meminta kepada penerbangan ya silakan karena saya tidak mampu. Kalau pun saya minta akan ditolak.
Lalu bagaimana ke depan? Apabila harga minyak dunia naik apakah bisa biaya penerbangan ikut dinaikkan dan sebaliknya?
Ini tidak mudah, karena tidak mungkin ketika harga minyak naik kami minta tambahan kenaikan kepada jemaah. (Bahrul Haya menambahkan, pihak penerbangan sebenarnya cemas akan kemungkinannya harga minyak dunia naik. Dalam kondisi itu kami tidak tahu bagaimana penerbangan mengatasinya. Bisa saja dengan cara hedging atau membeli avtur sebelum waktunya musim haji tiba. Tetapi, hal itu juga sulit dilakukan karena pemerintah tidak dapat membayar kontan).
Bagaimana dengan evaluasi penyelenggaraan haji tahun ini?
Secara keseluruhan sukses karena penyelenggaraan di Arafah tidak ada kendala, demikian pula di Musdalifah, Mina maupun saat lempar jumrah. Hanya masalah timbul pada pemondokan yang jauh, itu pun saya tidak ingin hal itu terjadi tetapi terpaksa adanya proyek perluasan area Masjidil Haram. Tidak hanya perluasan saja yang menyebabkan pemondokan jauh, tetapi juga para pemilik pemondokan yang mengeksploitasi harga sewa.
AQIDA SWAMURTI