INFO NASIONAL - Wakil Ketua MPR, DR. Arsul Sani SH., MSi., menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Cipta Kerja bernilai positif. Demikian pendapatnya dalam Diskusi Empat Pilar MPR bertema “Menakar Inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja Pascaputusan MK” di Media Center, Gedung Nusantara III, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, 29 November 2021.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menuturkan putusan MK itu banyak yang mengapresiasi. “Meski akademisi maupun pengamat hukum tata negara menyebut putusan itu merupakan putusan kompromi, jalan tengah bahkan dikatakan bersifat ambiguitas,” ujarnya.
Namun demikian, Arsul berpendapat bahwa keputusan tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru. Menurut dia, yang diputuskan oleh lembaga negara itu memutus uji formil. Putusan MK memutuskan undang-undang yang ada dengan putusan inskontitusional bersyarat. Dengan putusan ini maka pembentuk undang-undang, yakni Pemerintah dan DPR, harus memperbaiki prosedur pembentukan undang-undang. “Agar memenuhi syarat-syarat formilnya,” ujarnya.
Arsul Sani mengatakan bahwa yang diuji oleh MK pada undang-undang itu bukan pada isi atau materiilnya. MK tidak secara tegas menetapkan bahwa MK memiliki kewenangan uji formil. “Karena itu batu uji MK-pun menggunakan Undang-Undang, yakni UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, tuturnya.
Dari sinilah, menurut Arsul Sani, potensi masalah dari putusan MK itu bisa terjadi. Bila Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang sudah memperbaiki syarat formil, nanti ada yang tidak puas dengan masalah materiilnya, pastinya selanjutnya akan ada keinginan untuk melakukan uji materiil terhadap UU Cipta Kerja lagi.
Menurut Arsul Sani, seharusnya MK dalam memutuskan putusan itu sekaligus, yakni secara formil maupun materiil. “Jangan sendiri-sendiri sehingga kerja yang dilakukan sekali saja,” ujarnya.
Menilik Risalah Pembahasan Amandemen UUD, Arsul melanjutkan, kewenangan yang diberikan kepada MK sebenarnya sebatas kewenangan uji materiil. Jika MK melakukan pengujian formil dan memberi putusan pengabulan pengujian formil, hal demikian menurut Arsul Sani bisa menimbulkan persoalan. “Ini pertanyaan secara tertib ketatanegaraan benar atau tidak?” ujarnya.
Meski putusan yang ada saat ini memberi kemanfaatan, memenuhi harapan masyarakat, namun ditegaskan kita harus kritis pada MK. “Meski putusan baik memenuhi harapan publik tetapi dari sistem dan struktur ketetanegaraan agak melenceng,” kata Arsul.
Bila ingin MK memiliki kewenangan uji formil menurut Arsul Sani perlu dilakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait masalah MK.
Anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo SE., MH., mengatakan harus menerima keputusan MK. “Ibarat pil, meski pahit harus kita telan demi kesehatan,”, ujarnya.
Meski demikian, apa yang diputuskan oleh MK tidak boleh ditafsirkan macam-macam. Pasalnya, saat ini muncul kegelisahan dari investor terkait putusan tersebut. Firman Soebagyo mengatakan bahwa undang-undang yang ada masih berlaku sampai adanya perbaikan. “MK tak membatalkan pasal-pasal, tetapi hanya perlu penyempurnaan,” tuturnya. (*)