Bekas Deputi V/Penggalangan Badan Intelijen Negara, Muchdi, dituntut hukuman 15 tahun penjara karena dinilai terbukti menganjurkan dan memberikan sarana kepada terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto untuk membunuh Munir. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan direncanakan mengeluarkan vonis kasus tersebut pada 31 Desember ini.
Human Rights Watch dan Human Rights First memantau dengan seksama persidangan Muchdi selama enam bulan terakhir. Perwakilan mereka pun beberapa kali mengikuti persidangan.
"Jika Indonesia ingin melangkah melewati masa lalu mereka yang diselimuti nuansa otoritarian, sistem hukum harus menunjukkan bahwa para jenderal tidak tak tersentuh hukum," ujar Mat Easton, Direktur Human Rights Defender Program di Human Rights First. "Para penyidik, penuntut, dan pengadilan harus siap meneruskan bukti-bukti dan hukum yang menuntun mereka."
Human Rights Watch dan Human Rights First menilai pengadilan Muchdi merupakan ajang penting di Indonesia sebab akuntabilitas para anggota TNI serta badan intelijen dipertanyakan sejak era Soeharto.
Easton berharap pengadilan menghasilkan keputusan independen berdasarkan bukti-bukti yang ada, meskipun ada saksi yang mencabut pernyataannya. Hal senada diungkapkan Direktur Human Rights Watch untuk kawasan Asia, Brad Adams. "Kini, setelah beberapa saksi tiba-tiba mengubah cerita mereka, semua mata akan melihat majelis hakim, apakah mereka bisa menghadapi tekanan dari kekuatan besar dari pasukan keamanan," ujar Adams.
"Pembunuhan Munir adalah luka yang terbuka bagi Indonesia. Luka itu tidak akan sembuh sampai seluruh pihak yang bertanggung jawab dimintai pertanggungjawaban," lanjut Adams.
HRW| KODRAT SETIAWAN