Tamar Djaja dalam bukunya Ruhana Kudus Srikandi Indonesia Riwayat Hidup dan Perjuangannya, cetakan ke sepuluh, mengungkapkan, setiap pagi Ruhanna mengajak teman sebayanya yang belum bisa membaca untuk main ke rumahnya. Di serambi depan rumah, Ruhanna kecil mulai membacakan majalah dan buku-buku sambil melatih mereka mengeja, hingga teman-teman seusianya pandai membaca.
Tak hanya bahasa Belanda, Ruhana juga mengajari teman-temannya baca tulis huruf Al-quran, hingga keterampilan memasak. Kegiatan menjadi guru kecil ini dilakukan dengan kondisi yang amat sederhana. belum mempunyai bangku dan meja, tetapi semuanya disuruh duduk bersila, dan Ruhanna tak memungut imbalan sedikit pun.
Masih mengutip dari buku Rohana Kudus Srikandi Indonesia Riwayat Hidup dan Perjuangannya, perjalanan hidup Rasjad memberikan dampak dan kontribusi yang besar bagi Ruhanna.
Saat Ruhana mengikuti ayahnya ke Alahan Panjang, ia bertetangga dengan istri pejabat Belanda atasan ayahnya, Adiesa. Adiesa mengajari Ruhana ketrampilan menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Keterampilan jahit menjahit Ruhana sebenarnya telah didapat terlebih dulu dari neneknya, Sini Tarmini, pembuat renda terawang Bukittinggi yang terkenal.
Bersama Adiesa, Ruhana juga kerap belajar dan membaca berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa, yang membuat pola pikir Ruhanna semakin terbuka dan modern. Mengikuti tugas sang ayah, Ruhana sempat hidup berpindah-pindah.
Di mana pun ia berada, ia selalu menjadi inspirator dan penggerak anak-anak seusianya untuk pandai membaca. Berbekal ilmu dan keterampilan, ia tak pernah bosan dan mengeluh untuk mengajar. Tak heran, di antara anak seusianya, Ruhana sangat disenangi dan terkenal di tengah masyarakat berkat jasanya.
Pada 1897, setelah ibunya wafat dan ayahnya menikah lagi dengan Asiah dan Rabiah, anak jaksa di Bonjol yang berasal dari Natal. Ruhana mantap memutuskan untuk hidup mandiri dan menetap di Koto Gadang, kampung halamannya.
Pada saat itu Koto Gadang masih berada dalam kondisi yang terpinggirkan, rawan kekerasan, baik seksual, ekonomi, fisik maupun psikis. Perempuan Koto Gadang masih dipingit, tidak boleh bersekolah, dan hanya melayani suami.