TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memilih Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI. Ia diketahui pernah memimpin di satuan penanggulangan teror (Gultor), hingga bergabung di proyek intelijen antiteror bernama Charlie.
Andika memimpin unsur paling elit di Kopassus bernama Detasemen 81/Gultor. Melansir Majalah Tempo edisi 18 September 2021, pada pertengahan 1988, Andika yang masih berpangkat Letnan Dua, juga tergabung bersama 134 personel Kopassus lain untuk ikut proses seleksi proyek Charlie.
Mengikuti latihan yang menguras fisik dan kemampuan berpikir, Andika akhirnya terpilih ke dalam 35 personel yang meraih lencana kualifikasi kontraterorisme pada Januari 1989.
Charlie adalah sandi untuk proyek intelijen teknis pada Detasemen Gultor. Proyek ini digagas oleh Luhut Binsar Pandjaitan yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Situs Kemaritiman menyebut proyek ini menghasilkan tentara terbaik dari yang terbaik. Orang dekat Luhut menyebut proyek itu menjadi pertemuan awal bosnya dengan Andika.
Dalam buku Charlie: Special Operations in Indonesia 1988-1993, Ken Conboy menulis bahwa Andika mendapat pelatihan dari berbagai spesialis. Termasuk di antarnya adalah Nick Hadas, seorang perwira Mossad, badan intelijen Israel.
Buku itu juga menyebut Australia menawarkan pelatihan intelijen taktis. "Slotnya diberikan kepada Letnan Andika Perkasa," tulis Conboy.
Calon Panglima TNI ini juga pernah bertugas di Timor Timur hingga Aceh yang menjadi lokasi konflik besar di Indonesia. Selama tugas itu, Andika Perkasa diketahui pernah meringkus Teungku Bantaqiah, tokoh Islam di Beutong Aceh yang disebut terhubung dengan Gerakan Aceh Merdeka. Ia juga sempat menangkap Umar Faruq, tokoh disebut terhubung dengan Al-Qaeda, pada 2002.
Baca juga: Kiprah Andika Perkasa, Calon Panglima TNI Pilihan Presiden Jokowi