TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan ada dua opsi yang bisa ditempuh untuk mengurangi dampak buruk dari pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 atau biasa disebut PP pengetatan remisi koruptor.
Pilihan pertama, kata dia, adalah pemerintah membuat PP baru. “Kita bisa bikin PP lagi,” kata Bivitri dalam diskusi virtual ICW, Selasa, 2 Oktober 2021.
Meski demikian, Bivitri pesimistis dengan pembuatan peraturan pemerintah baru tentang pengetatan remisi koruptor itu. Dia menganggap pemerintah saat ini tidak memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi.
Menurut dia, lemahnya komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi bisa dilihat dari pembiaran pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bivitri mengatakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi diam saja saat pegawai KPK dipecat karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan, meskipun sudah ada rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM.
“Saya terus terang tidak banyak berharap kalau kita mau bikin PP lagi. Mungkin kita harus tunda harapan itu sampai 2024,” ujar dia.
Bivitri mengatakan opsi yang masih mungkin terbuka adalah fokus pada pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Pemasyarakatan. Dia mengatakan pengetatan remisi koruptor bisa dimasukkan ke dalam RUU tersebut.
“RUU Pemasyarakatan bisa kita kuatkan dan abaikan pertimbangan hukum dari MA yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” kata Dosen Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini tentang pencabutan aturan tentang remisi koruptor.
Baca juga: Baleg DPR Setujui RUU Pemasyarakatan, KUHP, dan ITE Prioritas 2021