TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan argumen Mahkamah Agung (MA) tidak cukup kuat untuk menjadi dasar membatalkan peraturan pemerintah soal pemberian remisi koruptor.
Menurut Zaenur Rohman, tindak pidana korupsi berbeda dengan pidana umum. Maka, ketentuan tambahan yang membedakan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana lain, bukan suatu diskriminasi.
“Diskriminasi itu memberikan sesuatu secara berbeda untuk suatu yang sama. Atau sebaliknya, jika sesuatu yang berbeda dilakukan berbeda bukan merupakan diskriminasi,” kata Zaenur dalam diskusi publik yang diselenggarakan Sahabat ICW, Selasa, 2 November 2021.
Selain itu, menurut Zaenur, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang melandasi remisi ini juga telah membuka peluang intervensi bagi pihak eksternal untuk dapat memberikan remisi tambahan.
Zaenur menilai, overcrowded di Lembaga Pemasyarakatan tidak dapat disalahkan pada pelaku tindak pidana korupsi. Sebab, jumlanya sangat kecil. “Tidak sampai 1 persen hanya sekitar di bawah 2.000 dari total hampir 200.000 warga binaan di lembaga pemasyarakatan,” ujarnya.
MA sebelumnya mencabut aturan pengetatan remisi koruptor. Mahkamah Agung mendasarkan keputusan ini pada tiga alasan. Pertama, pemberlakuan berbeda terhadap remisi adalah diskriminasi, remisi seharusnya menjadi kewenangan dari pemerintah, dan tujuan pidana bukan untuk pembalasan.
JESSICA
Baca juga: ICW Kritik Langkah MA Cabut Aturan Pengetatan Remisi Koruptor