TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, mengaku khawatir terjadi kemunduran dengan rencana pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa kepada pejabat pemerintah.
“Pemberian gelar kepada bangsawan itu terjadi di abad 16. Saya khawatir kalau itu terjadi kita berada pada episode kemunduran kembali ke abad 16,” kata Ubedilah dalam Sarasehan, Kamis, 21 Oktober 2021.
Ubedilah menjelaskan bahwa gelar doktor kehormatan pertama kali diberikan pada abad 15 tahun 1470. Gelar tersebut diberikan kepada seseorang yang berjasa di bidang agama, yaitu pendeta. Sebab, jasanya menyebarkan kebaikan pada semua orang.
Pada abad 16, kata Ubed, gelar doktor kehormatan mulai diberikan kepada pejabat dan bangsawan. Hal itu diawali dengan kedatangan Raja James I ke Universitas Oxford, Inggris. Sang raja membawa rombongan berjumlah 43 orang.
“Dan rombongan itu, 43 orang diberikan doktor honoris causa . Kebanyakan dari mereka adalah pejabat, bangsawan yang sebetulnya kalau ada di era seperti ini akan jadi perdebatan publik yang luar biasa,” katanya.
Menurut Ubed, polemik pemberian gelar doktor kehormatan pada pejabat oleh UNJ sudah muncul sejak tahun lalu. Ketika itu, rektor belum dilantik sehingga rencananya dibatalkan. Tetapi, kata Ubed, beberapa bulan setelah rektor dilantik ada proses yang begitu cepat dalam upaya memberikan gelar tersebut.
Aliansi dosen, kata Ubed, sebetulnya tidak reaktif atas rencana tersebut. Tetapi melakukan studi kasus hingga akhirnya menemukan kejadian serupa di daerah lain, yaitu seorang pejabat mendapat gelar kehormatan namun tidak memiliki karya yang signifikan.
“Bisa jadi ada tren seperti di abad ke-16,” kata dia. Diskursus tersebut akhirnya membuat aliansi dosen UNJ bersikap dan menolak rencana pemberian gelar doktor kehormatan kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir.
FRISKI RIANA
Baca Juga: Rektor UNJ Ngotot Ubah Aturan Doktor Honoris Causa Pejabat, Aliansi Dosen: Tolak