Dalam Pasal 2, Polaris menjelaskan bahwa program doktor yang disebutkan sebagai syarat harus doktor yang terkait dengan jasa atau karya calon penerima gelar doktor. Pada ayat 3 juga disebutkan tata cara dan syarat pemberian doktor diatur oleh masing-masing perguruan tinggi. Artinya, kata dia, aturan memberikan otonomi kepada kampus untuk mengatur syarat-syarat pemberian gelar doktor honoris causa.
Sementara pada Statuta UNJ, Polaris mengatakan bahwa pasal 22 menyebut UNJ dapat memberi gelar kehormatan pada seseorang yang dianggap berjasa luar biasa. Tidak disebut kata layak, tapi berjasa luar biasa bagi kemajuan dan perkembangan IPTEK, kemanusiaan, dan peradaban. UNJ juga disebut dapat mencabut atau membatalkan.
Masih dalam pasal 22, Polaris mengatakan bahwa pada ayat 3 menjadi lebih tegas. Yaitu ketentuan lebih lanjut mengenai gelar kehormatan diatur dengan peraturan rektor setelah mendapat pertimbangan senat. “Kalau UNJ sudah memiliki peraturan rektor, maka sudah menjadi tertib bagaimana tata cara dan bagaimana syarat-syarat yang memenuhi untuk memperoleh gelar kehormatan di UNJ,” kata dia.
Polemik soal doktor kehormatan ini bermula dari rencana pemberian gelar doktor honoris causa kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir yang dikritik aliansi dosen UNJ. Aliansi menilai pemberian gelar doktor kepada pejabat bertentangan dengan UU Dikti dan pedoman pemberian gelar doktor kehormatan.
Dalam pedoman disebutkan bahwa UNJ tidak memberikan gelar doktor kehormatan pada mereka yang sedang berada di pemerintahan. Kemudian pemberian gelar doktor kehormatan kepada Ma’ruf diusulkan oleh fakultas yang tidak memiliki program S3 dengan akreditasi A dan karya yang dibuat dinilai belum termasuk karya luar biasa.
Sementara, Erick Thohir diusulkan oleh Fakultas Olahraga. “Ini tidak ada hubungannya dengan Erick Thohir yang seorang pebisnis,” ujar anggota aliansi dosen UNJ, Ubedilah Badrun.
Baca juga: UNJ Ngotot Beri Gelar Honoris Causa, Ubedillah Duga Ada Kepentingan Pragmatis
FRISKI RIANA