TEMPO.CO, Jakarta - Ahli Madya Biro Hukum Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Polaris Siregar mengatakan ada tiga aturan yang menjadi dasar hukum pemberian gelar doktor honoris causa oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Pertama adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan, dan Permenristekdikti Nomor 42 Tahun 2018 tentang Statuta UNJ. “Tiga ini jadi hukum yang perlu dirujuk,” ujar Polaris dalam Sarasehan, Kamis, 21 Oktober 2021.
Polaris mengatakan dalam Pasal 27 UU Dikti perguruan tinggi yang memiliki program dokor memang belum disebut soal akreditasi. Namun hanya menyebutkan perguruan tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan.
“Kata berhak di sini adalah hak perguruan tinggi. Jadi boleh digunakan, boleh tidak. Jadi tidak wajib,” katanya.
Polaris melanjutkan pada Pasal 27 ayat 2 tertulis bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai gelar doktor kehormatan diatur dalam Peraturan Menteri. Hal tersebut menunjukkan ada syarat materil berupa kriteria bagi seseorang yang layak memperoleh gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa.
Di Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016, kata Polaris, pasal 1 menyebutkan bahwa gelar doktor kehormatan merupakan gelar kehormatan yang diberikan perguruan tinggi yang memiliki program doktor dengan peringkat terakreditasi A atau unggul. Kemudian, dalam aturan tersebut juga mensyaratkan perseorangan disebut layak. “Jadi ada penilaian perseorangan itu layak karena jasa-jasa luar biasa dan sama dengan bunyi undang-undang,” ujarnya.