TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai ada unsur kepentingan politik dalam pernyataan yang dilontarkan mantan Panglima TNI Jenderal (Purnawirawan) Gatot Nurmantyo.
Fahmi menyatakan kendati sudah pensiun dari TNI, Gatot banyak terlibat dalam kegiatan yang bersifat politis. "Sulit untuk tidak melihat bahwa peringatan Gatot soal bahaya laten komunis itu diangkat untuk kepentingan politiknya," ujar dia saat dihubungi Tempo pada Selasa, 28 September 2021.
Fahmi menilai Gatot sengaja konsisten mengangkat isu ini setiap mendekati peringatan peristiwa 30 September 1965 atau G30S untuk menjaga popularitasnya. "Tanpa kita sadari, dia menjadi top of mind dan menjadi bagian dari perbincangan, perdebatan dan pemberitaan. Ya wajar saja, jika Gatot Nurmantyo secara konsisten memilih isu ini untuk menjaga dan mengelola eksistensinya," ujar Fahmi.
Isu G30S dinilai masih sangat menarik bagi sebagian masyarakat, terutama kelompok-kelompok Islam maupun kelompok-kelompok yang terasosiasi dengan militer. Pun, banyak diminati oleh influencer dan buzzer.
Namun, Fahmi khawatir isu ini bisa menghadirkan polarisasi, memelihara kecurigaan, dan menyebar rasa takut di kalangan masyarakat jika terus dipelihara. "Jika mendapat ruang terus-menerus, perpecahan yang mestinya bukan ancaman faktual ini malah berpotensi menjadi faktual," tuturnya.
Hampir setiap tahun, Gatot mengangkat isu kebangkitan PKI menjelang peringatan peristiwa G30S. Tahun ini, Gatot Nurmantyo membawa isu dugaan adanya penyusupan kembali pendukung PKI ke tubuh TNI.
Gatot dalam sebuah diskusi menyebut indikasi itu dibuktikan hilangnya sejumlah bukti-bukti penumpasan G30S/PKI di Museum Dharma Bhakti, Markas Kostrad. Patung yang dihilangkan itu di antaranya patung Presiden Soeharto, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, dan Jenderal A.H. Nasution.
"Bukti nyata jurang kehancuran itu adalah persis di depan mata, baru saja terjadi adalah Museum Kostrad, betapa diorama yang ada di Makostrad, dalam Makostrad ada bangunan, bangunan itu adalah kantor tempatnya Pak Harto (Soeharto) dulu. Di situ direncanakan gimana mengatasi pemberontakan G30SPKI di mana Pak Harto sedang memberikan petunjuk ke Pak Sarwo Edhie sebagai Komandan Resimen Parako dibantu oleh KKO," demikian penggalan pernyataan Gatot dalam webinar Diskusi Akhir Pekan TNI Vs PKI, yang digelar oleh Forum Guru Besar dan Doktor, Ahad lalu.
Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) Letnan Jenderal Dudung Abdurachman menyebut pernyataan Gatot adalah tuduhan keji. Menurutnya, patung-patung tersebut diambil oleh penggagasnya sendiri, yakni Panglima Kostrad ke-34 Letnan Jenderal TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution.
"Saya hargai alasan pribadi Letjen TNI (Purn) AY Nasution, yang merasa berdosa membuat patung-patung tersebut menurut keyakinan agamanya. Jadi, saya tidak bisa menolak permintaan yang bersangkutan," ujar Dudung.
Jika penarikan tiga patung itu kemudian disimpulkan bahwa Kostrad melupakan peristiwa sejarah pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, Dudung menyebut tuduhan tersebut sama sekali tidak benar.
"Saya dan Letjen TNI (Purn) AY Nasution mempunyai komitmen yang sama tidak akan melupakan peristiwa terbunuhnya para jenderal senior TNI AD dan perwira pertama Kapten Pierre Tendean dalam peristiwa itu," ujar Dudung Abdurachman menanggapi pernyataan Gatot Nurmantyo.
Baca juga: Gatot Nurmantyo Duga Pendukung PKI Susupi TNI, Panglima TNI Enggan Berpolemik
DEWI NURITA