TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengumpamakan artificial intelligence atau kecerdasan buatan akan dibikin pusing bila disuruh memikirkan tes wawasan kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, kata dia, keputusan pimpinan KPK memecat pegawai karena hasil TWK itu tidak masuk logika hukum.
“Semua algoritma hukum tidak bekerja di kasus ini,” kata kuasa hukum pegawai KPK itu dalam diskusi daring ICW, Ahad, 19 September 2021.
Dia berandai-andai semua perundang-undangan di Indonesia dimasukkan ke dalam mesin khayalan itu. Lalu, data mengenai pelaksanaan TWK, putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung juga dimasukkan, maka hasilnya: “Dia pasti mengeluarkan kesimpulan yang berbeda dari ucapan Firli Bahuri, Alexander Marwata dan Nurul Ghufron,” tutur dia.
Dalam konferensi pers 15 September 2021, pimpinan KPK memutuskan memberhentikan 56 pegawainya yang tidak lolos TWK. Salah satu dasar pemberhentian itu, adalah keputusan MA dan MK tentang TWK. KPK menyatakan peraturan yang mendasari pelaksanaan TWK adalah UU Nomor 19 Tahun 2019 yang berdasarkan putusan MK Nomor 26 Tahun 2021 dinyatakan tidak diskriminatif dan konstitusional. Kedua, Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 yang dinyatakan MA konstitusional dan sah.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menilai putusan MK dan MA hanya membenarkan kewenangan bahwa KPK boleh melaksanakan tes kebangsaan. Putusan kedua lembaga peradilan itu, kata dia, tidak menyinggung fakta yang terjadi dalam pelaksanaan TWK. MK, kata dia, bahkan mengulangi pertimbangan putusan sebelumnya bahwa TWK tidak boleh merugikan pegawai KPK.
Menurut Zainal, fakta bahwa pelaksanaan TWK merugikan pegawai itulah yang ditemukan oleh Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. “Sebenarnya semudah itu memahami putusan MK,” kata Zainal dalam diskusi yang sama.
Zainal sependapat dengan Asfinawati bahwa keputusan memecat pegawai bukanlah permasalahan hukum. TWK, dia bilang, hanya modus untuk menyingkirkan sejumlah pegawai KPK. Putusan MK dan MA, kata dia, digunakan sebagai dalih untuk memperkuat niat yang sudah ada. “Saya lihat sudah ada keputusan lebih dulu di KPK untuk mengeluarkan pegawai itu, analisisnya baru dicari-cari,” ujar dia.