TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meminta Presiden Joko Widodo untuk mengabulkan permohonan amnesti Saiful Mahdi, terpidana kasus UU ITE.
Dosen Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh itu dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik berbekal tulisan di grup Whatsapp setelah mengkritik proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk dosen di Fakultas Teknik universitasnya.
"Permohonan mengabulkan amnesti sebagai bentuk komitmen presiden untuk menjamin perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagai elemen esensial dari demokrasi," ujar Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar melalui keterangan tertulis, Senin, 6 September 2021.
Selain itu, ELSAM juga meminta pemerintah dan DPR untuk secara serius melanjutkan proses revisi terhadap UU ITE, termasuk materi Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (2), yang rumusannya cenderung karet dan multi-tafsir.
Kemudian, meminta Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya agar menyediakan panduan penanganan perkara berdimensi kebebasan berekspresi dan berpendapat dengan medium teknologi informasi dan komunikasi.
"Juga menyediakan bimbingan teknis bagi para hakimnya, khususnya dalam mengadili kasus-kasus yang berdimensi kebebasan berekspresi dan berpendapat, baik yang melalui medium daring maupun luring," ucap Wahyudi.
Menurut Wahyudi, dalam kasus Saiful Mahdi, pertimbangan hukum sebagaimana tercermin dalam putusan pengadilan tingkat pertama hingga tingkat kasasi, gagal membedakan antara kritik dengan pencemaran nama baik sebagai spesies dari genus tindak pidana penghinaan.
Tujuan utama hadirnya hukum pencemaran nama baik pada dasarnya adalah untuk menjaga dan melindungi reputasi sebagai bagian dari privasi seseorang. Kendati begitu, jika diterapkan dengan tidak hati-hati, justru akan menghambat penikmatan kebebasan berekspresi dan berpendapat (antinomi).
Oleh sebab itu, hukum pencemaran nama baik harus dibatasi secara ketat, dengan memastikan terpenuhinya elemen-elemen yakni pernyataan yang diungkapkan merupakan suatu kebohongan, bersifat faktual, menimbulkan kerusakan, mengganggu reputasi orang (bukan institusi/lembaga); dan dipublikasikan kepada pihak ketiga.
"Oleh karenanya, suatu hukum pencemaran nama baik harus dikatakan inkonstitusional jika dimaksudkan untuk melindungi perasaan pribadi atau bahkan untuk melindungi ketertiban umum, gagal menyediakan pertahanan—pembelaan yang memadai, dan jika diterapkan dengan kerusakan yang tidak proporsional dengan tindakannya," kata Wahyudi.
Wahyudi menilai, peradilan gagal menerapkan unsur-unsur pidana pencemaran nama, sehingga gagal membedakan antara kritik sebagai suatu ekspresi yang dilindungi, dengan tindakan pencemaran nama baik. Pengadilan juga gagal memberikan perlindungan terhadap ekspresi yang sah dari Saiful, dan pertimbangan hukumnya cenderung dipaksakan untuk memenuhi unsur-unsur pencemaran nama baik.
ANDITA RAHMA