TEMPO.CO, Jakarta - Belum lama ini, Lembaga Survei Indonesia atau LSI merilis hasil survei nasional menyangkut persepsi publik terhadap pengelolaan dan potensi korupsi sektor sumber daya alam. Hasilnya, sebanyak 60 persen publik menilai bahwa tingkat korupsi di Indonesia meningkat selama dua tahun belakangan.
Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 60 persen publik menilai bahwa tingkat korupsi di Indonesia meningkat selama dua tahun belakangan. Data ini diperkuat dengan laporan Transparency International yang pada akhir Januari 2021 mencatat bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia merosot ke posisi 102 dari total 180 negara.
Muhammad Fatahillah Akbar, seorang Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM menyebut penurunan indeks persepsi korupsi itu terjadi sejak revisi Undang-Undang KPK pada 2019 lalu. Di samping itu, tampak pula adanya kecenderungan penegakan hukum korupsi yang kian menurun.
Akbar memberi contoh kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam perkara suap Djoko Tjandra. Ia dijatuhi hukuman 4 tahun kurungan penjara. Sebelumnya, ia mendapat vonis kurungan 10 tahun penjara, namun pengadilan menyunat masa hukumannya. Hasil ini, menurut Akbar, menunjukkan bahwa putusan pengadilan belum menegakkan keadilan dengan memberikan hukuman yang lebih berat untuk Jaksa Pinangki.
“Jika dibandingkan dengan kasus Gayus Tambunan, di mana Jaksa Urip divonis 20 tahun penjara, tetapi pada kasus suap Djoko Tjandara justru Jaksa Pinangki hanya 4 tahun saja,” ujarnya pada Selasa, 10 Agustus 2021, dikutip Tempo dari laman ugm.ac.id.
Tak hanya tren penegakan hukum terhadap kasus korupsi terbukti menurun, menurut Akbar juga terjadi penurunan dalam menindak kasus korupsi di Indonesia. Kasus korupsi bantuan sosial Covid-19 yang menyeret Juliari Batubara, misalnya.
“KPK hanya mengajukan tuntutan 11 tahun pidana penjara. Padahal, bisa dimaksimalkan 20 tahun. Tidak seperti kasus Akil Mochtar, di mana KPK mengajukan tuntutan yang dimaksimalkan yakni penjara seumur hidup. Kondisi saat ini menunjukkan adanya penurunan dalam pemberantasan korupsi,” sebut Akbar.
Akbar juga menyinggung polemik penonaktifan 75 pegawai KPK yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan. Menurutnya, hal tersebut berdampak kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Hemat Akbar, hal tersebut semestinya diselesaikan secara internal dan tak sampai mencuat ke hadapan publik. Sebab, persoalan seperti itu dapat menyebabkan persepsi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi menurun.
Selain itu, Akbar menilai bahwa KPK juga harus mengawasi kinerja aparat penegak hukum dalam meningkatkan pemberantasan korupsi pada setiap lini. Tak hanya itu saja, masyarakat juga diharapkan berpartisipasi dalam mengawasi dan melaporkan jika menemukan adanya tindakan korupsi.
ANNISA FEBIOLA
Baca juga: Soal Korupsi, Surya Paloh: Tanpa Budaya Malu, Seratus KPK Tidak Akan Beri Efek