TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan terlalu besar risiko jika amandemen UUD 1945 dilakukan saat ini. Dia menilai klaim para politikus pro-amandemen bahwa agenda itu hanya untuk menghidupkan kembali pokok-pokok haluan negara (PPHN) sulit dipercaya.
"Amandemen konteksnya hari ini sangat berisiko, risikonya kotak pandora. Amandemen terbatas hanya untuk PPHN apakah bisa?" kata Ari dalam diskusi Siapa Butuh Amandemen?, Ahad, 22 Agustus 2021.
Ari mengatakan janji amandemen terbatas itu memang berulang kali diungkapkan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo. Dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR 16 Agustus lalu, Bamsoet mengatakan amandemen tak akan membuka kotak pandora.
Namun menurut Ari, saat ini terjadi penguatan oligarki, hegemoni kekuasaan, transaksionalisme, dan pelemahan demokrasi serta check and balances dari masyarakat sipil terhadap pemerintah dan parlemen. Ia pun khawatir amandemen mengusung agenda tersembunyi dan akal-akalan politik.
"Kami mencurigai siapa yang diuntungkan adalah mereka yang berkuasa hari ini, siapa pun itu yang jadi pemimpin hari ini," kata Ari.
Ari melanjutkan, amandemen tak tepat dilakukan di tengah situasi saat ini, terlebih ketika Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19. Ia mengatakan ada pertaruhan politik yang amat mahal jika perubahan konstitusi dipaksakan terjadi.
Ari pun menyebut setidaknya beberapa prasyarat yang diperlukan untuk mengantisipasi amandemen UUD 1945 oleh MPR. Pertama, ia mengatakan perlu ada kontrol super kuat terhadap para pemimpin.
Dia meminta Presiden Joko Widodo, MPR, yang mencakup DPR dan DPD, serta para ketua umum partai politik membuat janji tertulis hitam di atas putih atau semacam pakta yang menyatakan agenda amandemen konstitusi tak melebar.
"Kita sudah paham sekali presedennya, jangan percaya janji manis dan lidah politisi hari ini. Sangat sulit dipercaya, mau Presiden, DPR, MPR. Jangan percaya politisi hari ini," ujarnya.
Ari mengimbuhkan, perlu juga adanya pengawasan yang kuat dari media massa dan kelompok masyarakat sipil.
Adapun peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengatakan publik tak sebaiknya mempercayai istilah amandemen terbatas yang disampaikan pimpinan MPR. Ia mengatakan tak ada konsep perubahan terbatas dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
"Ini sesuatu yang justru saya pikir bahasa politik untuk sekadar meyakinkan publik agar mendukung niat amandemen UUD 1945 ini," kata Lucius dalam diskusi yang sama.