TEMPO.CO, Jakarta - Analis Data Lapor Covid-19 Said Fariz Hibban mempertanyakan langkah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
"Keputusan pemerintah tak memakai data kematian dalam evaluasi PPKM Level 4 dan 3 itu tentu patut dipertanyakan. Sebab, data kematian adalah indikator yang sangat penting untuk melihat seberapa efektif penanganan pandemi Covid-19 yang telah dilakukan pemerintah," ujar Said lewat keterangan tertulis, Rabu, 11 Agustus 2021.
Luhut sebelumnya mengatakan indikator kematian akibat Covid-19 dikeluarkan dalam penilaian PPKM level 4. Dia beralasan indikator kematian itu menimbulkan distorsi dalam penilaian karena adanya pemasukan data yang tidak diperbarui. Dari penilaian ini, pemerintah menetapkan ada 26 kabupaten/kota yang turun status dari PPKM level 4 menjadi level 3.
Said mengatakan ketidakakuratan data kematian yang ada seharusnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengabaikan data tersebut. "Dengan menyadari bahwa data kematian itu tidak akurat, pemerintah seharusnya berupaya memperbaiki data tersebut agar benar-benar akurat," ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, data kematian akibat Covid-19 yang selama ini diumumkan oleh pemerintah pun sebenarnya belum cukup untuk menggambarkan betapa besarnya dampak pandemi Covid-19. Lapor Covid-19 menemukan jumlah kematian yang diumumkan pemerintah pusat masih jauh lebih sedikit dibanding data yang dilaporkan pemerintah daerah.
Berdasarkan data yang dikumpulkan tim Lapor Covid-19, ada lebih dari 19.000 kematian yang sudah dilaporkan oleh pemerintah kabupaten/kota, tapi tak tercatat di data pemerintah pusat. Data dari 510 pemerintah kabupaten/kota yang dikumpulkan tim Lapor Covid-19 menunjukkan, hingga 7 Agustus 2021, terdapat 124.790 warga yang meninggal dengan status positif Covid-19.
Sementara itu, jumlah kematian positif Covid-19 yang dipublikasikan pemerintah pusat pada waktu yang sama sebanyak 105.598 orang. Artinya, antara data pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah pusat, terdapat selisih 19.192 kematian.
"Pemerintah seharusnya mempublikasikan jumlah warga yang meninggal dengan status probable agar masyarakat memahami secara lebih akurat dampak pandemi yang terjadi. Perbaikan data ini yang harus dilakukan, bukan malah mengabaikan data kematian dan tak memakainya dalam evaluasi PPKM Level 4 dan 3," tuturnya.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono menilai pemerintah terkesan ingin mengeluarkan data yang kualitasnya tak bagus dari indikator penilaian. Padahal menurut dia, semua data menyangkut Covid-19 patut dipertanyakan kualitasnya.
"Semua distorsi. Karena apa, kualitas datanya tidak bisa dipercaya. Jadi perbaiki input datanya," kata Pandu, kemarin.
Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman menyebut langkah pemerintah yang tidak memperhitungkan angka kematian sebagai indikator ini berbahaya sekali. Sebab, Dicky menyebut tingkat keparahan situasi wabah hanya bisa diukur dari angka kematian.
"Itu pemahaman mendasar di epidemiologi. Jadi kalau itu hilang, ya kita hilang. Sudah kita terbatas kapasitas testing dan tracing surveilans, hilang data mortality ini dapat membuat kita makin gelap dalam pengendalian pandemi ini. Ini berbahaya sekali," ujarnya.
Dicky khawatir jika permasalahan data ini tidak dibereskan, maka Indonesia akan semakin lama terbebas dari pandemi Covid-19. "Inilah yang saya khawatirkan, salah satu indikator kenapa saya menempatkan Indonesia dalam potensi bakal keluar gelombang paling akhir pandemi, karena manajemen data ini," tuturnya ihwal penghapusan indikator kematian akibat Covid-19 dalam penilaian PPKM.
Baca juga: Tim Khusus Bakal Dibentuk untuk Tangani Wilayah dengan Kematian Tinggi Covid-19
DEWI NURITA | BUDIARTI PUTRI