TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah sampai saat ini belum juga mengumumkan kelanjutan kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat Jawa-Bali. Kebijakan yang berlaku mulai 3 Juli lalu itu, berakhir hari ini. Jubir Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan, terutama jika ingin melakukan relaksasi. Sebab, ujar Wiku, kasus Covid-19 masih tinggi.
"Melakukan relaksasi kebijakan perlu kehati-hatian. Berkaca dari pengetatan dan relaksasi atau gas dan rem yang dilakukan pemerintah selama 1,5 tahun pandemi ini, ternyata langkah relaksasi yang tidak tepat dan tidak didukung seluruh lapisan masyarakat dengan baik dapat memicu kenaikan kasus yang lebih tinggi," ujar Wiku dalam konferensi pers daring, Selasa, 20 Juli 2021.
Wiku merinci, Indonesia sendiri sudah tiga kali melakukan kebijakan pengetatan dan relaksasi. PPKM Darurat menjadi pengetatan yang keempat. Mekanisme pengetatan rata-rata dilakukan 4-8 minggu dengan efek melandainya kasus hingga penurunan kasus.
"Namun saat relaksasi, 13-20 minggu, kasus kembali meningkat hingga 14 kali lipat. Hal ini perlu menjadi refleksi penting pada pengetatan yang saat ini dilakukan," ujar Wiku.
Menurut Wiku, PPKM Darurat yang telah berjalan lebih dari dua pekan ini telah berdampak pada penurunan tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) dan mobilitas penduduk.
"Namun, penambahan kasus masih menjadi kendala yang kita hadapi. Hingga saat ini, kasus masih mengalami peningkatan hingga dua kali lipat dengan jumlah kasus aktif 542.938 atau 18,65 persen," ujar Wiku.
Kenaikan kasus tersebut, lanjut dia, tidak terlepas dari fakta bahwa variant of concern terutama varian B.1.617.2 atau varian Delta menyebar di Indonesia. Data teranyar Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI hingga 16 Juli 2021 menunjukkan terdapat temuan 759 kasus varian Delta di Indonesia yang tersebar di 19 provinsi.
Wiku menyebut, pengetatan mobilitas memang tidak bisa dilakukan terus-menerus karena memerlukan sumber daya yang sangat besar dan risiko korban jiwa yang terlalu tinggi serta berdampak secara ekonomi. Namun, Wiku mengingatkan, jika keputusan relaksasi diambil, harus dipersiapkan dengan matang dan perlu ada pengawasan dan ketegasan sanksi bagi pelanggar kebijakan.
"Ini kunci relaksasi efektif dan aman serta tidak memicu kasus kembali melonjak. Sayangnya keputusan relaksasi sering tidak diikuti sarana prasarana fasilitas kesehatan dan pengawasan protokol kesehatan yang ideal. Selain itu relaksasi disalahartikan sebagai keadaan yang aman sehingga protokol kesehatan dilupakan dan penularan kembali terjadi sehingga menyebabkan kasus kembali meningkat," tuturnya.
DEWI NURITA
Baca: Tekan Kasus Covid-19, Gubernur Papua Minta Masyarakat Bersiap Lockdown Sebulan