TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai pemerintah memiliki imajinasi untuk bertindak represif dalam menangani darurat pandemi Covid-19. Hal ini disampaikan Asfinawati menyoroti banyaknya kekerasan aparat selama PPKM darurat, serta pernyataan soal darurat militer.
Yang teranyar, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menyinggung ihwal 'darurat militer'.
"Saya lihat ini antara ketidaktahuan tentang undang-undang di level pemerintah sendiri, tapi yang lebih jauh dari itu sebetulnya memang ada imajinasi di kepalanya bahwa dalam keadaan darurat ini pasti represif," kata Asfinawati dalam konferensi pers, Ahad, 18 Juli 2021.
Asfinawati mengatakan kondisi serupa sebenarnya terjadi di banyak negara. Ada tren global bahwa pandemi dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan represif yang sebelumnya telah terjadi, tetapi kini lebih parah sebab ada pembatasan mobilitas warga untuk melakukan protes.
Dia mengingatkan, pada Maret 2020, Presiden Joko Widodo sempat memberikan sinyal ihwal penerapan darurat sipil untuk mengiringi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Menurut Asfinawati, ide itu sangat berbahaya lantaran bisa menghilangkan hak privasi warga.
Kini, Menteri Koordinator PMK Muhadjir Effendy menyebut darurat militer. Menkopolhukam Mahfud Md. pun ikut bersuara dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud darurat militer adalah pelibatan Tentara Nasional Indonesia untuk mengatasi pandemi.
Asfinawati mengatakan, narasi darurat militer ini lebih parah lagi. Ia mengingatkan bahwa pelibatan atau perbantuan tentara di luar pertahanan dan keamanan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Menurut Asfinawati, pemerintah seakan menganggap bahwa tindakan represif adalah keniscayaan dalam keadaan darurat, baik sipil maupun militer. "Ini cara berpikir yang kuno sekali," ujarnya.
Asfinawati menyebut, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebenarnya sudah progresif. UU tersebut menunjukkan perubahan paradigma bahwa kedaruratan tak melulu bersifat ancaman fisik.
"Namun di era modern ancaman itu bisa karena virus, karena masalah kesehatan, maka pendekatannya juga berbeda, yang menjadi pimpinan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan adalah Menkes," ujar Asfinawati.
Ia pun menyesalkan sikap para pejabat publik yang mengembalikan kedaruratan dalam kacamata kuno. Menurut dia, kedaruratan kesehatan masyarakat sudah seharusnya diselesaikan dengan pendekatan kesehatan, bukan pertahanan keamanan.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
Baca juga: Hanya Presiden yang Bisa Menyatakan Darurat Militer