TEMPO.CO, Jakarta - Kasus harian Covid-19 dan angka kematian nasional terus menembus rekor tertinggi dalam beberapa hari terakhir. Tercatat pada Selasa, 6 Juli 2021, ada penambahan mencapai 31.189 kasus. Ini merupakan penambahan tertinggi sejak beberapa pekan terakhir. Pemerintah melihat kurva akan terus naik sepekan ke depan.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, rekor dalam tiga hari terakhir belum menunjukkan puncak kasus. Jumlah kasus Covid-19, kata dia, akan terus meningkat hingga 12 hari mendatang.
"Ini masih akan terus naik dalam 10 hari, 12 hari ke depan. Hari ini, sudah 29 ribu walaupun tingkat kesembuhan lebih dari 13 ribu, tetapi peningkatan masih tetap tinggi," kata Luhut dalam jumpa pers daring, Selasa, 6 Juli 2021.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyebut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat tidak akan serta merta langsung menurunkan jumlah kasus Covid-19.
"Ini yang perlu dikomunikasikan ke publik. Karena adanya masa inkubasi sebelum PPKM Darurat diberlakukan, maka penurunan kasus baru akan terjadi atau terlihat pada 7 sampai 10 hari mendatang. Sekarang masih akan terus naik dan tentu kita antisipasi," ujar Dante dalam keterangannya yang dikutip dari laman resmi Kemenko PMK, Ahad, 4 Juli 2021.
Di tengah kasus yang terus meroket. Koalisi masyarakat meminta pemerintah tak usah terus menjaga citra. Salah satu indikasinya adalah dengan lebih memilih terminologi kelebihan kapasitas ketimbang kolaps dalam menggambarkan kondisi rumah sakit sekarang.
Banyak rumah sakit yang melaporkan IGD mereka tak lagi sanggup menerima pasien. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Jawa Timur menyebut ada 13 rumah sakit yang menutup sementara layanan IGD karena tak bisa menampung pasien. Ke-13 rumah sakit itu ialah Rumah Sakit Islam Ahmad Yani dan Jemursari, RS Royal, RS Wiyung Sejahtera, RS PHC, RS Adi Husada Undaan Wetan dan Kapasari, RS Premier, National Hospital, RS Al-Irsyad, RS Gotong Royong, RS RKZ serta RS William Booth.
Penuhnya rumah sakit ini juga berimbas pada krisis oksigen. Sejumlah rumah sakit melaporkan mereka kekurangan oksigen. Di Jawa Barat, misalnya, Gubernur Ridwan Kamil mengatakan mereka defisit 78 ton oksigen.
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, misalnya, ketar-ketir menangani pasien karena oksigen habis hanya dalam hitungan jam. Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Mohammad Komarudin mencari pasokan oksigen hingga Kota Surabaya, Jawa Timur dan Denpasar, Bali.
Komarudin menyebutkan PT Samator, distributor gas langganan rumah sakitnya hanya mampu memasok sepersepuluh dari kebutuhan oksigen di tengah melonjaknya pasien Covid. Sejak dua pekan terakhir kebutuhan oksigen naik empat kali lipat ketimbang hari biasa.
Rumah Sakit Umum Pusat atau RSUP dr. Sardjito Yogyakarta juga sempat krisis oksigen pada Sabtu, 3 Juli sampai Ahad, 4 Juli 2021. Kepala Bagian Hukum, Organisasi dan Humas RSUP Dr. Sardjito, Banu Hermawan mengatakan stok mulai menipis sejak Sabtu siang.
Parahnya, Banu mengatakan stok sentral benar-benar habis pada pukul 20.00 WIB. Rumah sakit sempat menjaga pasokan dengan tabung. Untungnya, Kepolisian Daerah Yogyakarta membantu 100 tabung oksigen pada Ahad, 4 Juli 2021 pukul 00.15 WIB. "Suplai oksigen berjalan lagi," kata Banu.
Kondisi ini tentu mengancam keselamatan nyawa para pasien Covid-19 di rumah sakit tersebut. Berdasarkan data yang dihimpun, ada 63 pasien meninggal dalam rentang waktu tersebut. Banu mengatakan tidak semua meninggal karena kekurangan oksigen. Ia mengatakan pasien yang datang ke rumah sakit memang sudah dalam kondisi buruk.
Pendiri Lapor Covid-19, Irma Hidayana meminta pemerintah sebaiknya mengakui saja kondisi darurat pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini serta meminta maaf kepada masyarakat atas kegagalan menangani pandemi selama kurang lebih 1,5 tahun.
"Mohon situasi yang sudah gawat darurat dan carut marut ini diakui, minta maaf, serta mengakhiri segala komunikasi yang mencitrakan bahwa kita baik-baik saja," ujar Irma, kemarin.
Doktor bidang ilmu kesehatan dan perilaku dari Columbia University ini mengatakan, pencitraan hanya menumbuhkan ketidakwaspadaan masyarakat. Ia mengatakan masyarakat tak semestinya disalahkan karena tidak taat protokol kesehatan.
"Bagaimana mau taat kalau diberi tahu situasinya tenang-tenang saja. Apa yang terjadi sekarang adalah buah pengendalian pandemi yang tidak berhasil selama hampir 1,5 tahun ini," ujarnya.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur mengatakan pemerintah bertanggung jawab atas kondisi krisis ini. Ia melihat, pemerintah tak bisa memenuhi kewajiban pemenuhan kebutuhan dasar rakyat saat dalam status darurat kesehatan masyarakat dan darurat bencana.
Baca juga: Megap-megap Krisis Oksigen