TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Satuan Tugas (Satgas) Oksigen Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Tri Saktiyana menuturkan untuk mengantisipasi kurangnya stok oksigen seperti yang sempat melanda RSUP dr Sardjito perlu banyak mengurai masalah di lapangan.
"Kasus di RSUP dr Sardjito kemarin, kebutuhan oksigennya melonjak lima kali lipat dari kebutuhan saat masa normal, ini perlu upaya ekstra dan darurat," kata Tri Saktiyana dalam konferensi pers Senin 5 Juli 2021.
Pada 4 Juli, Yogya sempat digegerkan dengan kabar 63 pasien Covid-19 meninggal dunia pasca stok oksigen di RS Sardjito kosong.
Tri Saktiyana menuturkan dari data yang diterima pihaknya sejak Jumat hingga Minggu, 2-4 Juli kebutuhan oksigen di Yogyakarta secara umum melonjak tajam akibat banyaknya pasien Covid-19 yang masuk ke rumah sakit rujukan.
Dalam masa tiga hari itu, Gugus Tugas Covid-19 DIY sendiri mencatat ada 3.895 kasus baru terkonfirmasi.
Dalam situasi normal sebelum lonjakan kasus terjadi, kebutuhan oksigen di DIY masih cukup dengan 20-25 ton per hari. Namun saat ini per hari di DIY setelah dihitung ulang dua kali lipatnya.
Tri Saktiyana menjelaskan kebutuhan oksigen rumah sakit selama ini dipenuhi perusahaan distributor. Rumah sakit besar seperti RSUP Sardjito biasanya memakai jenis liquid yang ditempatkan di tangki khusus untuk layanan oksigen centralnya.
Menurut Tri Saktiyana ada sejumlah persoalan yang memang membuat pasokan oksigen di DIY tak bisa dipenuhi secara mendadak.
Salah satunya DIY tidak memiliki pabrik oksigen sendiri. "Pabrik terdekat hanya di Kendal, Jawa Tengah," kata dia.
Padahal, produksi oksigen di situ untuk Jawa Tengah saja belum mampu mencukupi kebutuhan di masa lonjakan Covid-19 ini.
Memang, pemerintah pusat telah meminta perusahaan penyedia oksigen yang bukan untuk keperluan medis mengalihkan sementara untuk mendukung penanganan medis Covid-19. Namun hal ini perlu waktu.
Tri mengungkapkan, rumah sakit-rumah sakit rujukan selama ini sebenarnya sudah bekerjasama dengan perusahaan penyedia oksigen tertentu untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari.
"Biasanya, kalau kebutuhan oksigen itu naik dua kali, masih bisa terpenuhi. Tapi kalau kebutuhannya sudah naik tiga kali, perusahaan biasanya mulai sulit memenuhi, apalagi sampai lima kali lipat seperti yang dialami RSUP Sardjito kemarin," ujar Tri.
Kesulitan pemenuhan kebutuhan oksigen itu karena selama ini di tangki-tangki oksigen yang didistribusikan perusahaan ke pelanggan biasanya sudah ada identitas sendiri berupa nama pemilik suplier oksigen yang diajak kerjasama rumah sakit itu.
Dalam situasi normal bisnis, tidak etis ketika tangki perusahaan A kosong yang mengisi adalah perusahaan B. Aturan main seperti ini disinyalir turut menjadi penghambat dalam situasi darurat.
"Namun kami sudah berkomunikasi dengan para pimpinan perusahaan oksigen agar persoalan seperti itu tak terjadi dan para pimpinan perusahaan oksigen sudah setuju demi situasi darurat," kata Tri.
Tak hanya soal itu, persoalan administratif lain yang juga berpotensi menghambat pasokan oksigen secara mendadak karena perusahaan penyedia oksigen punya aturan internal. Misalnya mewajibkan jika ada permintaan kebutuhan tambahan dari pelanggan harus lewat surat menyurat secara formal. Proses ini paling tidak membutuhkan waktu satu hari.
"Padahal dalam situasi darurat, waktu sehari ini berapa nyawa yang bergantung dengan pasokan itu," kata dia.
Selanjutnya: selain birokrasi bisnis, ada kendala lainnya...