TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan setidaknya ada tiga bahaya perubahan masa jabatan presiden 3 periode. Bahaya pertama, menurut Bivitri, besar potensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Dia menyitir pernyataan guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Lord Acton (1834-1902) "power tends to corrupt". Bivitri mengatakan ungkapan klasik itu terbukti benar, yakni semakin lama orang berkuasa semakin besar pula potensi penyalahgunaan kekuasaan.
"Semakin lama seseorang menduduki satu jabatan, tidak hanya orangnya sendiri, tetapi jaringan kekuasaan yang terbangun pasti enggan kehilangan kedekatannya dengan kekuasaan itu," kata Bivitri kepada Tempo, Senin, 21 Juni 2021.
Bahaya kedua menurut Bivitri adalah tidak adanya regenerasi kepemimpinan. Padahal, kata dia, banyak sekali pemimpin-pemimpin baru yang potensial di Indonesia.
Meski seakan yang berganti hanya pucuk pimpinan, Bivitri meyakini jajaran di bawah maupun jaringannya ada yang ikut berganti. "Dan ini penting bagi demokrasi yang sehat," ujar dia.
Bivitri melanjutkan, dampak dari bahaya pertama dan kedua ialah terhambatnya inovasi untuk Indonesia yang lebih baik. Ia menyebut tidak adanya pergantian pemimpin bahkan bisa membuat Indonesia tak bisa cepat mengikuti perkembangan pendekatan-pendekatan dalam upaya pemajuan kesejahteraan rakyat.
Wacana masa jabatan tiga periode mencuat kembali seiring belakangan ini. Majalah Tempo edisi pekan ini menurunkan laporan mengenai dugaan manuver orang-orang di lingkaran Istana menggolkan wacana tiga periode atau perpanjangan masa jabatan presiden.
Selain itu, ada pula kelompok relawan Jokowi - Prabowo 2024. Mereka menyerukan agar Presiden Joko Widodo bersanding dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
Baca: Ide Jabatan Presiden 3 Periode, Dosen Undip Ingatkan Kisah Kelam Era Orde Baru