TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditengarai belum membayar ongkos pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan atau TWK kepada Badan Kepegawaian Negara sebanyak Rp 1,8 miliar. Menambah kuat dugaan bahwa pelaksanaan TWK dipaksakan.
Rincian biaya pelaksanaan TWK tercantum dalam Kontrak Swakelola tentang Penyelenggeraan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara. Dalam dokumen disebutkan bahwa kontrak itu dibuat dan ditandatangani pada Rabu, 27 Januari 2021. Dokumen diteken oleh Kepala Biro Sumber Daya Manusia KPK Chandra Sulistio Reksoprodjo dan Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran dari BKN, Imas Sukmariah.
Pasal 4 Ayat 1 kontrak tersebut menyebutkan KPK wajib membayar sebanyak Rp 1.807.631.000 atau Rp 1,8 miliar kepada BKN selaku penyelenggara tes kebangsaan. Selanjutnya, Pasal 5 Ayat 3 menyebutkan bahwa pembayaran dilakukan dalam dua termin. Termin pertama setelah melakukan kegiatan tes tertulis Indeks Moderasi Bernegara dan Integritas sebanyak Rp 1,5 miliar. Untuk termin pertama, KPK paling lambat harus membayar pada 10 Mei 2021. Sementara, untuk termin kedua dibayarkan setelah BKN menyelesaikan seluruh pekerjaan. KPK wajib melunasi sisa pembayaran paling lambat 31 Mei 2021.
Sumber yang mengetahui betul tentang pelaksanaan tes ini mengatakan pembayaran belum bisa dilakukan karena KPK belum menganggarkan biaya untuk pelaksanaan TWK. “Tidak ada uang untuk bayar, karena tidak dianggarkan sejak awal,” kata sumber yang mengetahui betul soal tes ini kepada Tim Indonesialeaks, beberapa hari lalu.
Pasal tentang TWK diduga dimasukkan pada tahap-tahap akhir pembahasan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Alih Status Pegawai KPK menjadi ASN. Meski draf aturan sudah digodok sejak Agustus 2020, klausul tentang TWK diduga baru muncul dalam rapat pimpinan KPK tanggal 5 Januari 2021. Dalam rapat ini, Ketua KPK Firli Bahuri diduga memerintahkan Biro Hukum KPK memasukkan pasal TWK ke rancangan peraturan komisi. “Kalian lupa? Di sini banyak taliban,” kata Firli seperti ditirukan seorang sumber Indonesialeaks.
Draf peraturan komisi versi 22 Januari 2021 sudah mencantumkan pasal tes wawasan kebangsaan. Namun, belum disebutkan bahwa tes itu dilakukan bekerja sama dengan BKN. Draf lalu berubah lagi pada 25 Januari 2021. TWK dicantumkan pada pasal 5 ayat 1 dengan menyebutkan tes itu diselenggarakan oleh KPK bekerja sama dengan BKN. Keesokan harinya, Firli diduga seorang diri membawa draf aturan tersebut ke Kementerian Hukum dan HAM untuk diundangkan. “Kalau memang benar ini direncanakan sejak jauh-jauh hari, pasti ada anggarannya,” kata dia.
Pembayaran juga belum bisa dilakukan karena Kontrak Swakelola pelaksanaan TWK diduga dibuat dengan tanggal mundur atau backdate. Seorang pejabat KPK menginformasikan bahwa tanggal kontrak swakelola itu telah dimanipulasi, hingga seolah dibuat sebelum TWK berlangsung pada 9 Maret hingga 9 April 2021. Dalam dokumen kontrak disebutkan bahwa kontrak diteken pada 27 Januari 2021. Padahal, diduga kontrak itu baru dibuat dan diparaf pada 26 April 2021. Penanggalan mundur ini dikhawatirkan akan menabrak aturan.
Selain itu, KPK masih belum membayar karena BKN belum mengirimkan bukti riil pembayaran atau pengeluaran dan laporan penyelenggeraan TWK. “KPK baru berani membayar kalau sudah dikirim lampirannya,” ujar dia.
Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa juga enggan mengomentari pelbagai tuduhan ihwal kejanggalan penyusunan Peraturan KPK dan pembuatan kontrak kerja sama dengan BKN. Ia juga tak menjawab ketika ditanyai ihwal kontrak kerja sama dengan BKN senilai Rp 1,8 miliar yang belum dibayar. Cahya menyarankan agar Tempo menghubungi pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri. Namun Ali belum meresponsnya.
Sebelumnya, Ali menyatakan kerja-kerja yang dilakukan lembaganya selalu berpijak pada aturan perundang-undangan yang berlaku. "Kami jalankan undang-undang dengan benar dan lurus." Kepala BKN Bima Haria Wibisana juga sama sekali tak merespons upaya konfirmasi yang dilakukan Tim IndonesiaLeaks dan Tempo.
Adapun Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) Tasdik Kinanto mengatakan lembaganya tidak mengetahui teknis kontrak kerja sama KPK dan BKN. "Secara substansial, Komisi ASN dalam proses kerja sama antara KPK dan BKN. Kami sama sekali tidak dilibatkan," tutur dia.
Tasdik menjelaskan, sebelum bekerja sama dengan BKN, Firli sempat menghubunginya untuk mengajak kerja sama dalam proses alih status pegawai KPK. Firli bahuri menghubungi Tasdik sekitar akhir Januari lalu. Namun Tasdik menolak diajak kerja sama karena Komisi Aparatur Sipil Negara tidak memiliki sarana dan prasarana, termasuk jumlah sumber daya yang terbatas. Dia kemudian menyarankan agar KPK bekerja sama dengan BKN sebagai lembaga yang selama ini merekrut pegawai negeri sipil.
Baca juga: Cerita Dugaan Firli Bahuri Ngotot Gelar TWK, Berdalih Banyak Taliban di KPK
*Liputan ini merupakan kolaborasi konsorsium Indonesialeaks. Yaitu Jaring.id, Tirto.id, Majalah Tempo, Koran Tempo, Tempo.co, The Gecko Project, KBR, Suara.com, Independen.id.