6. Wahiduddin Adams
Wahiduddin lahir di Desa Sakatiga, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan pada 17 Januari 1954. Sebelum menjabat hakim konstitusi, Wahid memulai kariernya di Kementerian Hukum dan HAM yang dulu bernama Departemen Kehakiman. Dia bekerja sebagai pegawai di Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI. Jabatannya tertingginya adalah Direktur Jenderal Perundang-undangan pada 2010 sampai 2014.
Wahiduddin Adams akhirnya menduduki kursi hakim konstitusi pada 2014 dengan masa jabatan hingga 2019. DPR kembali memilihnya untuk periode kedua 2019-2024 pada 9 Maret 2019. Dalam sidang putusan gugatan UU KPK kemarin, Wahid menyatakan proses revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK itu dilakukan dalam waktu singkat dan secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental. "Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat serta dilakukan pada momentum yang spesifik," kata Wahid.
Dengan menyatakan bahwa UU KPK harusnya dibatalkan, ia berharap dapat menyiratkan pesan kepada pembentuk undang-undang dan masyarakat bahwa secara materiil terdapat gagasan yang baik dan konstitusional terhadap KPK dalam UU a quo. Ia mengatakan jika dibentuk dengan prosedur yang lebih baik, diharapkan kelembagaan KPK juga menjadi lebih bagus ketimbang periode sebelumnya.
7. Saldi Isra
Saldi Isra disodorkan menjadi hakim MK oleh Presiden Joko Widodo pada 2017. Pria kelahiran Solok, Sumatera Barat 20 Agustus 1968 ini dikenal sebagai dosen dan aktivis. Dia pernah menjabat sebagai Direktur Pusat Kajian Konstitusi Universitas Andalas. Lembaga kajian yang kerap mengkritik kebijakan antikorupsi pemerintah, salah satunya revisi UU KPK. Setelah menjabat hakim konstitusi, dia menjadi hakim yang mengabulkan gugatan terhadap hak angket DPR.
Dilihat dari riwayatnya, tak heran banyak pegiat antikorupsi yang berharap dia akan mengabulkan gugatan uji formil UU KPK. Harapan itu pupus. Bersama 7 hakim lainnya, Saldi Isra menolak gugatan uji formil yang dilayangkan para aktivis antikorupsi.
8. Enny Nurbaningsih
Enny menjadi hakim kedua yang namanya disodorkan oleh Presiden Joko Widodo. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mad ini diangkat menjadi hakim MK menggantikan hakim MK Maria Farida Indrati yang sudah memasuki masa pensiun. Pengambilan sumpah jabatan terhadap Enny disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada 13 Agustus 2018.
Selain pendidik, Enny adalah birokrat di Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Enny juga pernah meraih penghargaan tanda kehormatan Satyalancana Karya Satya 10 tahun. Penghargaan ini diberikan kepada pegawai negeri sipil yang telah mengabdi selama 10 tahun dengan menunjukkan kesetiaan, kedisiplinan, pengabdian dan keteladanan bagi pegawai lainnya. Dia menolak uji formil UU KPK.
9. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh
Daniel Yusmic merupakan hakim Mahkamah Konstitusi pilihan Jokowi. Jokowi melantik pria kelahiran NTT pada 1964 ini sebagai hakim Mahkamah Konstitusi menggantikan I Dewa Gede Palguna yang habis masa jabatannya pada 2020. Daniel adalah dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Daniel meraih gelar master dan doktor di bidang hukum dari Universitas Indonesia pada 1998 dan 2011.
Ia pernah memberikan tanggapan terkait desakan publik agar Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK (Perpu KPK). Menurut dia, Perpu KPK belum perlu karena negara tidak dalam keadaan darurat. Dia menolak gugatan formil UU KPK.
Baca juga: Fakta Dissenting Opinion Hakim MK Wahiduddin Adams di Sidang UU KPK