TEMPO.CO, Jakarta - Dalam beberapa bulan belakangan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim didera sejumlah isu. Kritik terhadapnya pun kencang, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Nadiem dan anak buahnya pun sudah meluruskan berbagai isu tersebut. Revisi terhadap sejumlah aturan pun dilakukan menyusul ramainya protes.
Setidaknya berikut tiga isu yang menuai polemik belakangan;
1. Polemik Hilangnya Frasa Agama dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035
Kritik terhadap Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 awalnya disampaikan Pengurus Pusat Muhammadiyah karena tidak ditemukannya kata 'agama' dalam draf rumusan paling mutakhir tanggal 11 Desember 2020, terutama hilangnya frasa agama dari Visi Pendidikan Indonesia 2035. Hanya tercantum budaya sebagai acuan nilai mendampingi Pancasila.
“Saya bertanya, hilangnya kata agama itu kealpaan atau memang sengaja? Oke kalau Pancasila itu dasar (negara), tapi kenapa budaya itu masuk?” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam keterangannya yang dikutip dari laman resmi Muhammadiyah.or.id, Selasa, 9 Maret 2021.
Menurut Haedar, hilangnya frasa agama dalam visi pendidikan bertentangan dengan konstitusi. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang".
Nadiem menjelaskan, meski tidak ada kata 'agama' secara eksplisit dalam visi tersebut, agama dan Pancasila tetap ada dalam Peta Jalan Pendidikan 2020-2035. Menurut dia, hal tersebut tercantum dalam tujuan membangun profil Pelajar Pancasila sebagai SDM Unggul. Di antara profil tersebut adalah pelajar yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia.
Nadiem menyebut, Kemendikbud tidak akan pernah menghapus mata pelajaran agama. Untuk mengakhiri polemik, Nadiem merevisi draf Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Nadiem memastikan frasa agama akan dimuat secara eksplisit dalam Visi Pendidikan Indonesia dalam draf revisi.
"Kemendikbud menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya atas masukan dan atensi berbagai kalangan bahwa kata "agama" perlu ditulis secara eksplisit untuk memperkuat tujuan Peta Jalan tersebut. Jadi, kami akan pastikan bahwa kata ini akan termuat pada revisi Peta Jalan Pendidikan selanjutnya," ujar Nadiem lewat akun Instagram @nadiemmakarim, Rabu, 10 Maret 2021.
2. Polemik Hilangnya Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dan Pancasila dalam PP 57/2021
Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan menuai polemik karena tidak mencantumkan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tinggi.
Isi PP ini tidak persis dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 35 UU 12/2012 jelas menyebut bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah; Agama; Pancasila; Kewarganegaraan; dan Bahasa Indonesia.
Mendikbud Nadiem menyebut, PP 57/2021 tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya karena disusun merujuk Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Hanya saja, ujar dia, PP 57/2021 sebagai aturan turunan memang tidak mencantumkan dua mata kuliah itu secara eksplisit dalam kurikulum pendidikan tinggi.
"Sehingga untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman lebih jauh, kami akan mengajukan revisi PP SNP terkait substansi kurikulum wajib," ujar Nadiem lewat keterangan tertulis, Jumat, 16 April 2021.
Surat permohonan revisi terhadap PP 57/2021 pun
telah diajukan Nadiem Makarim kepada Presiden Jokowi lewat surat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25059/MpK.A/HK.01.01/2021 perihal Ijin Prakarsa Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan tertanggal 16 April 2021.
3. Polemik Hilangnya Nama Pendiri NU Hasyim Asy'ari dalam Kamus Sejarah
Baru-baru ini, Nadiem juga diprotes sejumlah kalangan karena Kemendikbud dituding menghilangkan jejak tokoh pendiri Nahdlatul Ulama Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I.
Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid menjelaskan, buku Kamus Sejarah Indonesia Jilid I tidak pernah diterbitkan secara resmi. "Dokumen tidak resmi yang sengaja diedarkan di masyarakat oleh kalangan tertentu merupakan salinan lunak (softcopy) naskah yang masih perlu penyempurnaan. Naskah tersebut tidak pernah kami cetak dan edarkan kepada masyarakat," ujarnya lewat keterangan tertulis, Senin, 19 April 2021.
Lebih penting lagi, lanjut Hilmar, naskah buku tersebut disusun pada tahun 2017, sebelum periode kepemimpinan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim. "Selama periode kepemimpinan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim, kegiatan penyempurnaan belum dilakukan dan belum ada rencana penerbitan naskah tersebut,” tuturnya.
Kamus Sejarah Indonesia terdiri atas dua jilid. Jilid I Nation Formation (1900-1950) dan Jilid II Nation Building (1951-1998). Pada sampul Jilid I terpampang foto Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari. Namun, secara alfabetis, pendiri NU itu justru tidak ditulis nama dan perannya dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia.
Salah satu pemrotes adalah Ketua Umum NU CIRCLE (Masyarakat Profesional Santri) R. Gatot Prio Utomo. Ia menuduh Kemendikbud menghilangkan jejak Hasyim Asy'ari dalam kamus iti. Mendikbud Nadiem Makarim kemudian diminta bertanggung jawab atas penghilangan jejak sejarah tersebut.
“Kami tersinggung dan kecewa atas terbitnya Kamus Sejarah Indonesia ini. Kamus itu memuat foto Hadratus Syech Hasyim Asyari tetapi tidak ada “entry” nama beliau sehingga berpretensi menghilangkan nama dan rekam jejak sejarah ketokohanya. Kami meminta kamus itu direvisi dan ditarik dari peredaran,” ujar Gatot.
DEWI NURITA
Baca: KH Hasyim Asyari Lenyap dari Kamus Sejarah, Hilman Gaet NU di Tim Pengkoreksi