TEMPO.CO, Batam - Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) meningkat di saat pandemi. Rekrutmen terang-terangan melalui media sosial. Kasus ini terus terjadi disebabkan ego sektoral hingga buruknya perekonomian masyarakat.
Lewat beranda Facebook-nya, Maria -bukan nama sebenarnya- mencoba mencari informasi soal lowongan pekerjaan. Awal Januari 2021, pencariannya membuahkan hasil. Ia menemukan sebuah unggahan di grup Facebook “Lowongan Kerja Kupang”. Perusahaan di Singapura membutuhkan pekerja. “Saya memang ingin bekerja di luar negeri,” ujar Maria bercerita kepada Tempo, Rabu, 13 Maret 2021.
Setelah berkomentar di kolom unggahan itu, Maria dengan cepat menerima pesan di akun Facebook-nya. Dari messenger itu maria bertemu “sponsor” (istilah agen yang mencari pekerja di NTT) di sebuah rumah di daerah Bakunase, Kota Kupang. Hanya berjarak 30 menit perjalanan dari rumah Maria.
Orang yang ditemui Maria sudah dikenal masyarakat di sekitar dengan panggilan “Mak Gaul”. Tampilannya seperti ibu rumah tangga biasa dan hanya berpakaian daster. Dalam pertemuan itu, Mak Gaul menjelaskan Maria menerima gaji Rp 10 juta per bulan. Selama tiga bulan pertama bekerja semua gajinya dipotong. Selain itu, ia harus tinggal di tempat penampungan dulu di Batam sebelum terbang ke luar negeri.
Ia menyepakati kontrak ini. Maria tidak menyangka kesepakatan itu, awal mula dirinya masuk ke dalam perangkap mafia perdagangan orang.
Kepolisian Daerah Kepulauan Riau membongkar jaringan yang mencoba menyelundupkan Maria pada akhir Februari 2021. Anggota polisi menggerebek rumah yang menjadi tempat penyelundupan orang ini di daerah perumahan Suka Jadi, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Maria bercerita selama tinggal di Batam. Ia menemukan kejanggalan-kejanggalan. Misalnya, perjanjian kontrak kerja tiba-tiba berubah. Agensi di Batam mengatakan Maria hanya mendapat upah Rp 6 juta, dengan potongan 8 bulan. Karena perubahan itu, Maria minta dipulangkan ke kampung halamannya, tetapi majikan Maria meminta dirinya membayar ganti rugi sebanyak Rp 9 juta rupiah.
Himpitan ekonomi di tengah pandemi...
Aktivis kemanusiaan di Batam, Kepulauan Riau (Kepri), RD Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong, mengatakan mafia perdagangan orang semakin banyak di masa pandemi. Sebabnya, banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan.
Paschalis mengatakan, pelaku bahkan sudah berani menampilkan diri mereka di media sosial. “Mereka berani menelanjangi diri mereka, misalnya posting rekrutmen dengan menampilkan foto-foto kegiatan dan lainnya,” ujar Paschalis kepada Tempo di Batam, 13 Maret 2021.
Aktivis Kemanuasian Romo Paschalis
Sebenarnya korban mengetahui jejaring ini tetapi himpitan ekonomi membuat mereka tidak memiliki pilihan lain. Menurut Paschalis, penyebab perdagangan orang masif terjadi yaitu, masalah keluarga, tuntutan ekonomi, budaya, patriarki dan lainnya. “Hampir seluruh korban terpaksa melakukan itu karena tidak ada pilihan lain,” katanya.
Koordinator Migrant Care Malaysia, Alex Ong mengatakan, saat ini tindakan perdagangan orang tidak hanya secara ilegal tetapi juga legal. Alex sedang menangani 105 orang yang dipekerjakan secara legal di Malaysia. Fakta di lapangan hanya 35 orang yang bekerja di perusahaan. “Yang lain tidak tahu dijual kemana,” ujar Alex saat dihubungi Tempo dari Batam, pertengahan Maret 2021.
Selama ini pekerja Indonesia yang datang ke Malaysia mengalami eksploitasi setelah majikan menahan pasport. Gaji dibayar ketika pekerja hendak pulang ke tanah air. Pekerja Migran Indonesia (PMI) kemudian dihadapkan kepada pilihan pahit, jika melarikan diri gaji mereka akan hangus, kalau tidak kabur mereka dipaksa untuk kerja, bahkan rentan mengalami penyiksaan. “Dalam kondisi seperti itu, pekerja terpaksa bekerja sesuai keinginan majikan,” kata Alex.
Menurut Alex, ada beberapa aturan baru di Malaysia yang sering dimanfaatkan oleh jaringan perdagangan orang. Salah satunya adalah mengizinkan warga asing perempuan berstatus turis bisa bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kemudian, program warga asing yang berada di Malaysia mendapat izin bekerja secara khusus. Hal itu menarik masyarakat Indonesia masuk Malaysia mencari kerja meskipun secara ilegal. “Apalagi di tengah pandemi, pekerjaan di Indonesia sangat sedikit,” kata Alex.
Tidak hanya itu, Malaysia juga menjadi transit korban perdagangan orang untuk dikirim ke Arab Saudi, atau daerah Timur Tengah lainnya. “Karena persyaratannya lebih mudah dibandingkan berangkat ke Timur Tengah dari Indonesia,” katanya.
Alex mengatakan, banyaknya aturan tidak jelas membuat calo bekerja untuk menjebak para korban warga Indonesia yang terhimpit ekonomi akibat pandemi. Pemerintah Indonesia yang bertugas ke lapangan harus paham, korban perdagangan orang bukanlah tindak pelaku kriminal, tetapi korban yang harus dibantu.
Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Indonesia di Singapura, Stephanus, mengatakan, Pemerintah Singapura sebenarnya sudah sangat ketat dalam aturan pekerja migran. “Tetapi kondisi itu tidak bisa menyelamatkan PMI dari jebakan perdagangan orang calo di Indonesia, pasalnya kebanyakan dokumen imigrasi sudah dipalsukan dari Indonesia. “Sehingga di Singapura lolos, karena dokumen lengkap,” kata dia.
Stephanus menjelaskan, ada dua jalur perekrutan tenaga kerja di Singapura, pertama secara tidak langsung (lewat jalur agensi) dan kedua yaitu rekrutmen langsung (lewat direct hiring). "Singapura lebih mengutamakan jalur langsung, sedangkan Indonesia memakai jalur tidak langsung, dua aturan berbeda ini menjadi peluang mafia perdagangan orang untuk melancarkan aksinya," kata dia saat dihubungi Tempo dari Batam Maret 202.
Paschalis mengatakan maraknya perdagangan orang ini tak lepas dari birokrasi yang ruwet. Tidak hanya itu, ketidak seriusan pemerintah menangani masalah ini juga menjadi peluang bagi mafia mengembangkan jaringannya. “Karena sampai saat ini belum kita lihat obat yang pas untuk memerangi mafia ini, meskipun sudah ada gugus tugas, undang-undang, tapi kasus tetap ada dan banyak,” kata Paschalis.
Paschalis meminta, pemerintah lebih serius menangani kasus perdagangan orang, terutama pemerintah pusat. Paschalis mengatakan, berbicara perdagangan orang tidak bisa soal kasus per kasus, tetapi kejahatan ini adalah seperti gunung es. Banyak masalah di balik kasus itu yang harus diselesaikan, seperti kemiskinan, pendidikan rendah, patriarki, gender, penegakan hukum, pemerintah dan lainnya. “Makanya susah sekali memberantasnya kalau bicara di level kasus per kasus saja,’ kata Paschalis.
Masih Ada Ego Sektoral...
Direktur Kriminal Umum Polda Kepri Komisaris Besar Arie Darmanto mengatakan kasus perdagangan orang akan sulit diberantas jika masih mengandalkan ego sektoral. “Ibaratkan nyamuk, diberantas sekarang besok ada lagi, tetapi kalau kita sama-sama semuanya membersihkan gorong-gorong, got yang macet dibersihkan, nyamuk pasti hilang, begitulah analoginya,” kata Arie.
Arie mengatakan, kasus perdagangan orang terjadi karena kondisi perekonomian Indonesia yang masih dalam taraf negara berkembang. “Peluang kekurangan tenaga kerja itulah yang dimanfaatkan oleh oknum mafia yang disebut pemodal besar melancarkan kejahatannya,” kata Arie.
Data Polda Kepri menunjukkan tahun 2017 terdapat 7 orang tersangka kasus TPPO, kemudian 2018 terdapat 17 tersangka, sedangkan 2019 terdapat 6 tersangka, sedangkan pada tahun 2020 tersangka naik menjadi 18 orang. Sedangkan dilihat dari jumlah kasus, tahun 2017 terdapat 4 kasus, tahun 2018 12 kasus, tahun 2019 4 kasus dan 2020 sebanyak 10 kasus. “Bahkan ketika masa lockdown aja, masih ada yang berusaha mengirim orang,” katanya.
Pelaku Perdagangan Orang di Kepulauan Riau
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) BP2MI Tanjungpinang wilayah Kepulauan Riau Mangiring Sinaga menjelaskan beberapa modus kasus perdagangan orang di Kepri. Mangiring menjelaskan terdapat empat tipikal modus perdagangan orang di perbatasan Kepulauan Riau. Beberapa modus itu tetap terjadi di masa pandemi.
Pertama tipe PMI nonprosedural atau tanpa dokumen sama sekali. Jalur ini pekerja berangkat melalui pelabuhan tikus yang terdapat dj Bintan, Teluk Mata Ikan, Nongsa, Pulau Galang, Teluk Sebong, Sungai Kecil dan lainnya.
Tipe modus perdagangan orang yang kedua adalah PMI non prosedural melalui agensi. Pekerja di tipe ini berangkat melalui jalur resmi tetapi menggunakan agen ilegal. Biasanya korban bekerja hanya menggunakan paspor pelancong. “Ini juga kita susah mengawasinya, karena semua orang bebas keluar negeri,” katanya.
Kemudian PMI yang berangkat secara mandiri, yaitu pekerja yang dibawa bekerja keluar negeri oleh keluarganya sendiri. “Terakhir ada tipe PMI musiman atau passing, pekerja ini menggunakan izin tinggal 20 hari untuk bekerja di luar negeri,” katanya.
Mangiring melanjutkan, BP2MI sudah menjalankan beberapa program pencegahan agar kasus perdagangan orang tidak terus terjadi. Namun, yang paling susah diawasi pekerja yang masuk melalui jalur pelabuhan tikus. Seluruh pantai di Kepri bisa jadi pelabuhan tikus. “Yang bisa kita lakukan adalah kerja sama, kita melakukan koordinasi dengan daerah asal korban untuk menelusuri sindikat ini, makanya harus ada sinergi daerah transit dan daerah pemasok,” katanya.
BP2MI melihat, kebanyakan korban perdagangan orang terjebak akibat tidak ada pilihan lain, apalagi lapangan pekerjaan sedikit di Indonesia. Selain itu permasalahan syarat bekerja di Indonesia harus berpendidikan tinggi juga menjadi faktor pendorong.
Selain itu, para pekerja juga terjebak oleh pinjaman rentenir. Karena tidak bisa bayar, mereka disalurkan ke jaringan perdagangan orang. “Memang tidak manusiawi, penjajah berkepala hitam seperti ini,” kata dia.
Peluang-peluang seperti itu lanjut Mangaring, yang dimanfaatkan oleh mafia menarik keuntungan. Masa pandemi kondisi tersebut semakin masif, pasalnya informasi lebih gampang didapatkan pekerja melalui media sosial. “Apalagi permasalahan ego sektoral masih ada dalam penanganan kasus ini,” katanya.
*Tulisan ini hasil pelatihan peliputan isu pekerja migran bersama AJI Indonesia dan IOM
Baca juga: Bareskrim Tangkap WNA Pelaku Perdagangan Orang