TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum atau Komisi III DPR Arsul Sani menyarankan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencari alternatif penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat lewat mekanisme nonyudisial. Arsul menilai perlu ada terobosan agar kasus pelanggaran HAM berat dapat diselesaikan meskipun tanpa melalui peradilan.
"Pertanyaan saya kenapa Komnas HAM tidak menyampaikan usulan alternatif penyelesaian yang lain, yang nonyudisial, yang penting ada penyelesaian," kata Arsul dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dan Komnas HAM, Selasa, 6 April 2021.
Arsul mengaku tak dapat membayangkan penyelesaian secara yudisial kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 1990-an, misalnya kasus 1965 dan 1966. Mempertanyakan siapa yang akan diadili, Arsul mengaku ragu apakah pelaku masih hidup dan layak menghadapi sebuah proses hukum.
Baca: Komnas HAM Dorong Pengesahan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
"Kalau pun teridentifikasi jangan-jangan orangnya sudah jadi nama jalan semua di kampungnya masing-masing," ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan ini.
Arsul juga menyinggung perdebatan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung selama ini menyangkut hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat. Selama ini, Kejaksaan Agung kerap mengembalikan berkas penyelidikan Komnas lantaran dinilai belum lengkap.
"Kenapa tidak ada terobosan lain tanpa melalui proses yudisial, belum lagi tektok antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Ini kan harus ada terobosannya, ini yang saya pikir harus menjadi concern kita," kata Arsul.
Komnas HAM sebelumnya telah menyerahkan berkas penyelidikan sembilan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kepada Kejaksaan Agung. Sembilan kasus itu yakni Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. Kemudian Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti-Semanggi I dan II, Peristiwa Wasior dan Wamena 2003, Peristiwa Jambu Keupok di Aceh 2003, dan Peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999.
BUDIARTI UTAMI PUTRI