TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono mengatakan kelompok teror di balik serangkaian aksi terorisme di Indonesia kerap menggunakan berbagai cara untuk bersembunyi. Salah satunya, adalah dengan menggunakan tameng kebebasan berpendapat.
"Kelompok teror ini pintar, sering berkamuflase mereka. Aksi teror yang didahului dengan narasi radikal mereka sebut sebagai bagian daripada kebebasan berpendapat. Ini hal-hal seperti ini sering terjadi sekali," kata Rusdi dalam diskusi Public Virtue Research Institute, yang digelar secara daring, Ahad, 4 April 2021.
Rusdi pun mengatakan saat ini, polisi tengah bergerak di dunia maya untuk mengantisipasi adanya paparan paham radikal yang berasal dari internet. Pasalnya, ia meyakini dunia maya menjadi salah satu sumber utama paparan para pelaku teror.
Polisi virtual yang dicanangkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, kata Rusdi, adalah salah satu cara pemerintah memberikan informasi yang telah tersaring dan tak menyesatkan. Namun ia mengakui polisi virtual masih menerima banyak kritik.
Terlebih terkait dengan peran polisi yang dianggap terlalu masuk ke ruang privat warga negara dan berpotensi memberangus kebebasan berpendapat masyarakat. Ia pun juga membantah hal ini.
Baca Juga:
"Penindakan aksi teror tidak mengancam demokrasi, karena suara kritis itu tidak menjadi target sasaran penanganan terorisme," kata Rusdi.
Kasus aksi teror akibat paparan dari media sosial terjadi pada penyerangan Mabes Polri pada Rabu, 31 Maret 2021 lalu. Pelaku yang berinisial ZA, disebut polisi terpapar paham radikal dari media sosial yang ia konsumsi.