TEMPO.CO, Jakarta - Aksi terorisme berupa bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar pada Minggu 28 Maret 2021 lalu mengejutkan masyarakat karena terjadi di kala aksi serangan teroris relatif surut di Indonesia.
Serangan teroris terakhir kali adalah aksi bom bunuh diri di Surabaya pada 2018 yang melibatkan satu keluarga.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Najib Azca mengatakan bom bunuh diri di Makassar yang melibatkan sepasang suami istri yang baru menikah itu merupakan aksi terorisme dengan gaya baru dan jaringan baru.
Bila dibandingkan dengan fase-fase awal tahun 2000-an, ketika terjadi bom Bali, aksi teror punya efek destruksi yang hebat, korban tewas bisa mencapai ratusan.
Rentetan berikutnya di tahun 2005, 2006 dan 2007 tercatat terjadi beberapa kali serangan teror dan bom. "Yang dilakukan oleh kelompok atau jejaring yang sama yang berafiliasi atau terkait dengan Jamaah Islamiyah," kata Najib seperti dikutip tempo dari laman UGM, Rabu 31 Maret 2021.
Baca juga:
Menurut Najib, pemerintah dinilai relatif berhasil melemahkan jejaring kelompok teroris tersebut. Namun, redupnya jejaring kelompok teroris itu digantikan jejaring-jejaring baru. Setelah 2010, kata Najib, semua aksi terorisme dilancarkan oleh jaringan baru tersebut.
Menurut Najib, aksi terorisme itu banyak dilakukan oleh kelompok Jamaah Ansharut Daulah dengan jejaring-jejaringnya dan dengan berbagai variannya. Mereka beberapa kali melakukan serangan bom bunuh diri. Yang menarik adalah, menurut Najib, korban dari aksi teror kelompok ini kecil bahkan seringkali pelaku bom sendiri sebagai korbannya.
Sangat berbeda dengan aksi-aksi awal, seperti bom Bali misalnya, yang menewaskan 202 orang dan ratusan lainnya luka-luka. Pada bom Sarinah para pelaku aksi bom lebih banyak meninggal dibanding korbannya. Demikian pula dengan bom di Surabaya jauh lebih banyak pelakunya yang meninggal dunia.
Ini artinya, kata Najib, kemampuan atau kapasitas melakukan aksi terorisme jejaring baru ini lebih kecil. "Hanya, meski aksi terorismenya kecil tetapi menimbulkan efek ketakutan yang besar," kata dosen Sosiologi UGM itu.
Dibanding aksi terorisme Jamaah Islamiyah, serangan teror saat ini lebih tidak terorganisasi. Adapun terorisme lama, dengan eksekutor hanya 1 atau 2 orang saja, punya efek destruksi yang besar.
Adapun terorisme akhir-akhir ini lebih tidak terorganisasi bahkan sebagian aksi adalah aksi individual. Sehingga karakter ekstremisme terorismenya lebih sulit dideteksi karena sebagian tidak melibatkan simpul-simpul jejaring.
Karena itu, menurut Najib, target terorisme saat ini lebih pada efek ketakutan di masyarakat. Sangat berbeda bila dibandingkan dibandingkan aksi-aksi terorisme di Afganistan, di Syria jauh, yang sekali bom meledak bisa jatuh korban 200 atau lebih. "Disini hampir beberapa tahun ini kan tidak ada aksi besar, lebih banyak aktornya yang menjadi korban," katanya.
WINDA OKTAVIA
Baca juga: Ketua Umum PP Muhammadiyah Sebut Ada Upaya Adu Domba di Balik Bom Makassar