TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SDP), Erik Kurniawan, menilai terselenggaranya Kongres Luar Biasa menunjukkan Partai Demokrat lemah secara kelembagaan.
“Ini memang menunjukkan bahwa kelembagaan parpol kita sangat lemah, KLB Demokrat itu,” kata Erik dalam diskusi Reformasi Partai Politik: Partai NOT FOR SALE, Jumat, 5 Maret 2021.
Erik menjelaskan, ada sejumlah indikator yang menjadi alat ukur institusionalisasi partai politik. Salah satunya dalam otonomi pengambilan keputusan partai, partai bergerak relatif otonom tak tergantung pada perorangan dan kelompok masyarakat di luar partai.
Dalam kasus KLB Demokrat, Erik menilai ada banyak intervensi pihak luar atau mantan kader. “Jadi partai tidak otonom. Anggotanya tidak punya kedaulatan,” katanya.
Indikator berikutnya adalah jumlah anggota, kongres atau musyawarah yang teratur. Erik menjelaskan makin tidak ada kongres luar biasa mestinya semakin bagus, karena membuktikan bahwa partai semakin ajeg dan kuat kelembagaannya. “Ini tiba-tiba KLB berarti menunjukkan tingkat organisasinya rendah,” kata dia.
Pada awal Februari lalu, Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengumumkan adanya gerakan pengambilalihan partai yang dimotori oleh kader senior, mantan kader, dan seseorang di lingkaran pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Belakangan terungkap nama Jhoni Allen Marbun, Darmizal, Muhammad Nazaruddin, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sebagai aktor kudeta.
Para kader senior Partai Demokrat itu pun mengadakan kongres luar biasa atau KLB di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat, 5 Maret 2021. Hasilnya, Moeldoko ditetapkan sebagai ketua umum.
Dalam KLB ini, peserta KLB yang hadir mengusulkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan mantan Ketua DPR RI Marzuki Alie. Berdasarkan voting cepat, Moeldoko lebih banyak didukung daripada Marzuki. Sehingga diputuskan secara langsung Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2021-2026 hasil Kongres Luar Biasa.