Cara lain adalah dengan menggunakan metafora. Meski metafora lebih banyak digunakan para penulis fiksi, namun di jurnalisme naratif hal ini bisa diterapkan. Tapi Azul mengingatkan penggunaan metafora dalam jurnalisme naratif tak boleh setitik pun mengandung fiksi. "Itu haram karena kebenaran itu suci dalam jurnalistik," kata dia.
Meski begitu, dia mengatakan dalam jurnalisme naratif wartawan harus bisa menggambarkan suasana yang mencekam, mengharu biru, atau bahkan romantis, secara baik tanpa mengandung fiksi. Ia mencontohkan pengalamannya saat menuliskan suasana hujan di Pantai Barat Aceh, enam bulan setelah Tsunami menyerang wilayah itu pada 2004.
Saat itu, ia menunggu kapal yang akan mengangkut mobilnya, hujan turun. Azul mencoba menggambarkan hal itu dalam laporannya saat telah tiba di Jakarta. Namun ia kebingungan mencari kalimat yang tepat tanpa harus menjadi klise.
"(Kemudian) saya teringat sajak Chairil Anwar yang judulnya Senja di Pelabuhan Kecil, yang baitnya adalah 'gerimis mempercepat kelam'. Itu kata yang kuatnya minta ampun. Menjelang magrib, mendung, hujan turun, dan suasana jadi gelap. Menyebut itu, bagi pembaca Chairil akan tahu itu adalah frasa milik Chairil dan pas (dengan situasi saat itu)," kata Azul.
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo ini mengatakan di tengah banyaknya media daring yang mengandalkan kecepatan dalam pemberitaan, jurnalisme naratif semakin sedikit mendapat sorotan. Namun ia meyakini jurnalisme naratif akan tetap bertahan dan harus terus didorong untuk dilakukan.
Azul kemudian mengutip ucapan Goenawan Mohamad, salah satu pendiri Tempo, terkait dengan perkembangan jurnalisme saat ini. Goenawan mengumpamakan berita cepat, seperti air yang berkecipak di atas sungai. Dia bergerak cepat, berbuih, meletup, ciprat sana sini, tapi dia tak mengendap.
"Tulisan naratif, tulisan panjang, dia adalah tulisan di dasar sungai. Dia jadi sedimen di sungai itu. Suatu saat dia bisa muncul lagi kalau memang dianggap perlu. Dan itu meninggalkan bekas yang mendalam bagi pembacanya. Itu yang kita harapkan dari tulisan-tulisan di Tempo," kata Azul.
Baca juga: Resep dari Dapur Tempo: Mempertahankan Jurnalisme Naratif di Era Media Baru