Menurut aktivis Papua Veronica Koman, pelanggaran kebebasan berpendapat dengan UU ITE bukan cuma terjadi ketika sudah tahap pemenjaraan. Namun kata dia, pelanggaran terjadi sejak seseorang merasa takut menyampaikan pendapatnya karena khawatir dikenai UU ITE.
"Ketika kita sebagai warga negara mau posting sesuatu, kita berpikir sepuluh kali sebelum posting karena bayang-bayang teror UU ITE, itu udah pelanggaran," kata Veronica.
Dosen Universitas Syah Kuala Banda Aceh Saiful Mahdi, yang juga korban UU ITE, meminta pemerintah melibatkan berbagai kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan Komnas HAM dalam proses perbaikan UU ITE. Namun ia menilai sebenarnya tak perlu ada tim anyar, mengingat sudah banyak pihak yang melakukan kajian terkait UU ITE.
"Negara tidak perlu keluarkan biaya lagi untuk membuat kajian, tim ini, tim itu, yang biasanya sangat mahal untuk membuat interpretasi," kata Saiful.
Setelah bertahun-tahun disuarakan, desakan merevisi UU ITE dinilai mendapat momentum lantaran Presiden Jokowi menyatakan terbukanya peluang itu pada Senin, 15 Februari 2021. Namun, keraguan muncul lantaran sejumlah anak buah Jokowi malah mengarahkan pada pembuatan interpretasi resmi atas pasal-pasal multitafsir di UU ITE.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md telah membentuk dua tim, yakni untuk mengkaji revisi dan untuk membuat pedoman interpretasi UU ITE. Mahfud berjanji akan melibatkan kelompok masyarakat sipil dan prodemokrasi dalam tim pengkaji revisi ini.
Baca juga: Jokowi Minta Revisi UU ITE, Ini Aneka Respon Anak Buahnya
BUDIARTI UTAMI PUTRI