Kasus serupa juga dialami Marco Kusumawijaya, pakar tata kota sekaligus mantan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Marco dilaporkan oleh Masco Afrianto Lumbantobing karena cuitannya di Twitter soal protes terhadap pasir putih Bangka di Jakarta untuk reklamasi PIK 2.
Menurut Marco, selain pasal multitafsir UU ITE, persoalan juga terjadi dalam penegakan hukum oleh Kepolisian. "Hanya memang sesuatu yang multitafsir jadi lebih menyenangkan saja buat operasi orang-orang berkuasa dan terutama polisi ini. Setuju fokus pada revisi UU ITE ini, tetapi jangan lupa soal-soal lainnya," kata Marco.
Jurnalis Diananta Putra Sumedi, yang pernah dipidana dengan kasus ITE, juga menyampaikan harapannya terkait revisi UU ITE. Diananta menilai UU ITE sangat represif.
Dalam kasusnya, UU ITE tetap diberlakukan meskipun masalah etik jurnalistik yang terjadi itu sebenarnya sudah rampung di Dewan Pers. "Saya pribadi berharap pernyataan Presiden itu bukan hanya janji manis semata," ucap Diananta.
Aktivis dan peneliti kebijakan publik, Ravio Patra, mengatakan revisi UU ITE diperlukan mengingat meningkatnya penyiksaan digital (digital torture) di Indonesia. Ravio mencontohkan, dirinya dikenai UU ITE dengan tuduhan menghasut, padahal telepon ponselnya diretas. Di sisi lain dia juga diserang para buzzer dan keluarganya mengalami teror.
Ravio menyoroti adanya anggapan pemerintah dan DPR bahwa korban UU ITE adalah mereka yang sampai dipenjara kendati tak bersalah. Menurut Ravio, tanpa dipenjara pun, semua proses hukum terkait ITE itu sudah amat mengganggu.
"Itu luput dari pandangan pemerintah dan DPR. Kalau dipaksa, dibawa polisi, dinarasikan provokator dan macam-macam, itu sudah cukup bikin hidup orang berantakan," kata dia.