TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan bahwa aturan pemaksaan penggunaan jilbab bagi siswi non-muslim tidak tepat dari sisi agama maupun kenegaraan.
“Agama juga mengajarkan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena itu, memaksakan aturan paksa untuk non muslim memakai jilbab saya kira itu dilihat dari aspek kenegaraan juga tidak tepat, tidak benar, dan dari keagamaan juga tidak benar,” kata Ma'ruf dalam keterangannya, Kamis, 4 Februari 2021.
Wapres Ma'ruf mengakui bahwa isu intoleransi antarumat beragama memang bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia dan terjadi di tingkat lokal. Setelah kasus siswi nonmuslim diharuskan mengenakan jilbab di SMKN 2 Padang mencuat, Ma'ruf mengatakan pemerintah kali ini mengambil sikap karena telah mengganggu prinsip kebhinekaan di level nasional. "Menganggu soal toleransi, pemerintah mengambil langkah," ujarnya.
Baca: Puji SKB 3 Menteri Soal Seragam, Komnas HAM: Ada PR Soal Sekolah Ramah HAM
Menurut Ma'ruf, keharusan penggunaan jilbab sebagai wujud kearifan lokal dalam menunjukkan pembauran antara kaum mayoritas dan minoritas juga tidaklah tepat diterapkan. Sebab, kata dia, kearifan lokal harus memperhatikan pemahaman masing-masing pihak.
"Menurut saya kebijakan tersebut tidak tepat dalam sistem kenegaraan kita, kecuali untuk Aceh yang memang memiliki kekhususan yang diatur dalam kewenangan-kewenangan tertentu,” kata dia.
Terkait polemik penggunaan jilbab di sekolah negeri, Wapres menegaskan bahwa hal tersebut tidak diwajibkan dan juga tidak dilarang. Persoalan itu dikembalikan kepada masing-masing individu dalam mengambil tindakan, sehingga tidak ada pemaksaan di dalamnya melainkan menunjukkan kedewasaan seseorang di dalam menentukan sikap. “Ini merupakan kedewasaan di dalam beragama, berbangsa, dan bernegara, sehingga tidak ada aturan-aturan yang memaksa, melarang, atau pun juga mengharuskan,” kata Ma'ruf Amin.
FRISKI RIANA