TEMPO.CO, Jakarta - Demokrat melihat ada upaya dari kelompok tertentu yang memaksakan Pilkada 2024 untuk kepentingan pragmatis. "Misalnya, mau menjegal tokoh-tokoh politik yang dianggap potensial sebagai capres," kata Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Herzaky Mahendra Putra dalam keterangannya, Rabu, 27 Januari 2021.
Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pemilihan kepala daerah akan digelar serentak dengan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif tahun 2024. Namun, beberapa partai mengusulkan perubahan ini lewat revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Dalam draf revisi UU Pemilu, pilkada akan tetap digelar pada 2022 dan 2023, mengikuti siklus lima tahunan setelah Pilkada 2017 dan 2018. Kemudian, pilkada serentak baru akan digelar pada 2027. Sedangkan para kepala daerah hasil Pilkada 2020 yang habis masa jabatan pada 2025, bakal digantikan oleh penjabat sementara hingga Pilkada 2027.
Fraksi-fraksi berbeda suara ihwal penyelenggaraan pilkada ini. Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan Pilkada 2024 tetap digelar.
Adapun Demokrat mengusulkan agar jadwal pilkada dinormalisasi seperti yang tertera dalam draf RUU Pemilu. Selain Demokrat, Fraksi NasDem juga mendukung penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023.
Herzaky berharap pemerintah dan partai-partai politik di parlemen mengedepankan semangat kebersamaan dalam membahas revisi UU Pemilu. Dia mengingatkan bahwa demokrasi merupakan proses bersama yang diharapkan menghasilkan keputusan terbaik bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
"Harapan Demokrat, opsi apa pun yang dipilih merupakan opsi terbaik untuk merawat dan mengembangkan demokrasi di negeri tercinta ini. Jangan sampai demokrasi di Indonesia berjalan mundur," ucapnya.
Baca juga: Demokrat Sepakat Revisi UU Pemilu dan Pilkada DKI 2022