TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali mengkritik pelantikan 37 pejabat yang mengisi struktur baru Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Ada dua poin yang dikritik ICW, yaitu mengenai profil para pejabatnya, legalitas perubahan struktur dan struktur yang dianggap gemuk.
"Secara umum, problematika pelantikan pejabat struktural baru KPK dapat dipandang sebagai upaya dari pimpinan untuk semakin mengikis independensi kelembagaan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Selasa, 5 Januari 2020.
Kurnia mengatakan sejak Firli Bahuri menjadi Ketua KPK, terlihat adanya tren pejabat struktural diisi oleh unsur polisi. Dia mencatat sejak pelantikan hari ini, sudah ada 9 perwira tinggi polri yang bekerja di KPK. Tujuh berada di posisi direktur, satu orang di level deputi dan satu orang di level pimpinan.
Selain itu, ia mengatakan penambahan sejumlah posisi seperti Deputi Pendidikan dan Peran Masyarakat menyalahi Undang-Undang KPK. Pada Pasal 26 UU 30/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2019 yaitu, Bidang pencegahan; Bidang Penindakan; Bidang Informasi dan Data; dan Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Namun, Peraturan Komisi 7/2020 malah menambahkan nomenklatur baru, misalnya: Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Inspektorat, Staf Khusus. "Ini menunjukkan pengangkatan pejabat itu bertentangan dengan UU KPK," kata Kurnia.
Terakhir, dia menilai nomenklatur baru KPK bertolak belakang dengan konsep reformasi birokrasi yang menitikberatkan pada isu efisiensi. Jika pada struktur lama KPK hanya memiliki 4 Kedeputian dengan 12 Direktorat, setelah diubah membengkak menjadi, 5 Kedeputian dengan 21 Direktorat.
"Penggemukkan ini juga berimplikasi pada pelaksanaan fungsi trigger mechanism KPK," kata dia.