TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Gerindra Fadli Zon menilai upaya politisasi hukum menjadi lebih terbuka dan sistematis di era Presiden Jokowi. Dia mengatakan pemerintahan Jokowi terlihat menjadikan hukum lebih sebagai alat politik ketimbang instrumen keadilan.
Fadli menyebut pembubaran Front Pembela Islam (FPI) pada 30 Desember 2020 yang hanya dilakukan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri dan lembaga makin menyempurnakan praktik buruk politisasi hukum di Indonesia. Tanpa proses pengadilan, kata dia, pemerintah melarang dan membubarkan organisasi kemasyarakatan.
"Pembubaran ormas ini adalah preseden buruk dalam praktik negara hukum. Sebab hanya berbekal kekuasaan, tanpa proses hukum yang fair, pemerintah bisa seenaknya melarang dan membubarkan organisasi," kata Fadli dalam keterangannya, dikutip Jumat, 1 Desember 2020.
Fadli mengatakan pembubaran FPI bahkan dilakukan dengan prolog, yaitu penembakan terhadap enam anggota FPI dan penahanan Rizieq Shihab yang dinilainya tak berdasar hukum jelas.
Fadli Zon mengingatkan hal yang menimpa FPI ini bisa menimpa organisasi mana pun yang berbeda pandangan dengan pemerintah. Tanpa kesempatan untuk mendebat dan membela diri di pengadilan, suatu organisasi bisa langsung dilarang berkegiatan. "Ini jelas manifestasi otoritarianisme yang membunuh demokrasi dan mengabaikan konstitusi," ujar dia.
Fadli mengatakan tahun 2020 ditutup dengan keprihatinan mendalam karena kemunduran demokrasi. Selain pandemi Covid-19 yang menimbulkan krisis kesehatan, kata dia, juga terjadi konsolidasi oligarki yang merusak secara dalam sendi-sendi kehidupan berdemokrasi Indonesia.
"Tantangan 2021 kelihatannya akan semakin berat. Potensi krisis ekonomi dan sosial bisa menciptakan krisis politik dan kepemimpinan nasional," kata mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini.
Pemerintah melarang FPI berkegiatan melalui terbitnya SKB 6 menteri dan kepala lembaga, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara, dan Kepala Badan Penanggulangan Terorisme.
Dalam pertimbangannya, setidaknya ada tujuh alasan pemerintah melarang FPI beraktivitas. Pertama, isi anggaran dasar FPI dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur soal Organisasi Masyarakat.
Selain itu, Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sebagai ormas di Kemendagri telah habis masa berlaku pada 20 Juni 2019. Berikutnya, pemerintah menilai pengurus, anggota, atau orang yang pernah bergabung dengan FPI kerap terlibat pidana bahkan aksi terorisme.
Front Pembela Islam juga disebut kerap melakukan sweeping atau razia, jika menurut penilaian atau dugaannya sendiri terjadi pelanggaran ketentuan hukum. Pemerintah menyatakan hal tersebut merupakan tugas dan wewenang aparat penegak hukum.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | EGI ADYATAMA