INFO NASIONAL -- Ideologi ekonomi global yang ditandai dengan kapitalisasi pasar bebas, serta liberalisasi demokrasi dan keuangan di sisi lain,menjadi tantangan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Apalagi bila aturan-aturan perdagangan dunia harus sesuai standar World Trade Organization sehingga peluang dan peran negar-negaraa miskin, negera-negara berkembang dan negara-negara kaya menjadi tidak sama.
“Sistem perundang-udangan harus kita atur secepat mungkin sehingga bisa terjadi adaptasi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi tetap dijaga dan antisipasi terhadap perubahan ekonomi global,” ujar Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR RI Mercy Chriesty Barends. Dia berbicaraDialog Ekonomi Hijau online bertema “Perspektif APBN Untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi Hijau Di Era Covid-19” yang diselenggarakan Tempo Media, Rabu, 16 Desember 2020,” ujarnya.
Disamping dampak positif, proses globalisasi juga memberi dampak negatif bagi negara-negara berkembang dan miskin dengan terjadinya eksploitasi dan pendudukan sumber dan aset produksi. “Praktek-praktek investasi yang bersifat eksploitasi, tidak memperhatikan keadilan tata kelola ekologi akan berdampak buruk terhadap iklim, kelestarian alam dan kemanusiaan,” ujar Mercy yang juga anggota Fraksi PDIP ini.
Komitmen Pemerintah melakukan langkah-langkah pengembangan ekonomi yang beriringan dengan pelestarian lingkungan cukup kuat bila melihat dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Namun komitmen perencanaan dinilaiperludiimbangidengan komitmen anggaran. Pada 2017-2021, anggaran untuk lingkungan hidup tidak lebih 1 persen dari total APBN.
“Menurut saya paradigma ini yang perlu diubah, komitmen terhadap perubahan iklim menjadi prioritas,” kata Sekjen Fitra, Misbah Hasan dalam diskusi yang dipandu Redaktur Ekonomi dan Bisnis Koran Tempo, Ali Nur Yasin, ini.
Selain itu pemulihan ekonomi kebutuhan jangka pendek diharapkan tidak dibenturkan dengan upaya jangka panjang dalam pelestarian lingkungan dan penurunan emisi karbon. Indonesia bisa belajar dari Brazil, yang telah mendesain program penciptaan lapangan kerja untuk pembangunan lingkungan. “Di Brazil ada penciptaan 12 juta lapangan kerja melalui program dan kegiatan yang berkaitan dengan daur ulang sampah,” ujar Direktur Eksekutif Core Indonesia Muhammad Faisal Faisal.
Destruktifnya Covid-19 menjadikan narasi pembangunan ekonomi hijau di masa pandemi lebih mudah tersampaikan. “Ini menjadi semacam peringatan awal bahwa climate change bisa lebih dahsyat dari Covid-19 dan ini mungkin akan menyadarkan banyak pihak,” kata Analis Kebijakan Ahli Madya PKPPIM Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan DudiRulliadi.
Untuk mengatasi terbatasnya pendanaan APBN dalam program pembangunanekonomi hijau, Pemerintah akan mengajak pihak swasta berinvestasi. “ Kita pikat swasta untuk masuk sebagai strategi yang bisa dilakukan di tengah keterbatasan anggaran. Karena penggunaan fiskal tidak mungkin seluruhnya untuk perubahan iklim,” ujar Dudi.
Keterlibatan pihak sawsta menjadi sebagai sebuah kesepahaman dalam dialog ekonomi hijau ini. Untuk itu peran pemerintah diharapkan menyiapkan kebijakan fiskal hijau dan stimulus fiscal yang dapat menarik pihak swasta untuk berinvestasi terhadap prioritas program pembangunan rendah karbon. Tujuannya untuk pemulihan pembangunan ekonomi hijau di Indonesia.(*)