TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengatakan terjadi kemunduran demokrasi di Indonesia pada 2020 ini.
Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto, mengatakan pada akhir 2019, sudah memperkirakan kemunduran demokrasi akan terjadi di 2020. Namun, hal ini ternyata dipercepat dengan adanya pandemi Covid-19 yang menyerang Indonesia.
"Outlook ini meramalkan tentang akan makin suramnya masa depan demokrasi di 2020 yang sayangnya, justru menjadi nyata, tak lain karena penanganan pandemi yang salah," kata Wijayanto dalam diskusi secara daring, Selasa, 17 November 2020.
Pada 2019, Wijayanto mengatakan prediksi LP3ES didasarkan pengesahan Undang-Undang KPK. LP3ES juga melihat tanggapan pemerintah yang cenderung mengambil sikap represif terhadap penolakan RUU itu.
Kekuatan anonim melalui penggunaan pasukan siber, teror siber, penindasan terhadap aktivis dan jurnalis serta kooptasi universitas dan sekolah, terjadi.
"Hal ini telah secara serius mengancam kebebasan sipil di Indonesia dan semakin mempercepat laju kemunduran demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia," kata Wijayanto.
Ia mengatakan hal ini kemudian diperparah dengan konsolidasi oligarki yang diiringi dengan pemberangusan oposisi. Sejumlah partai politik yang menjadi oposisi pemerintah sebelumnya, diajak masuk ke dalam kabinet. Kondisi ini yang kemudian menjadi pra kondisi Indonesia menjelang masuknya pandemi Covid-19.
"Hasilnya adalah kebijakan-kebijakan yang tidak menempatkan nyawa manusia, nasib warga sebagai panglima," kata Wijayanto.
Hal ini, kata dia, ditandai dengan sejumlah hal. Pertama adalah komunikasi yang buruk di masa pra krisis. Pemerintah sampat menyangkal bahaya Virus Corona dan cenderung lambat bertindak.
Selanjutnya adalah penerapan new normal demi ekonomi, yang dilakukan saat kurva kasus sedang menanjak. Alhasil, penambahan kasus semakin tinggi. Setelah itu. Wijayanto juga mencatat keputusan terus menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020, meski jumlah calon kepala daerah yang terpapar Covid-19 terus meningkat.
Hal ini kemudian diperparah dengan tanggapan buruk dari pemerintah terhadap protes omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Represi terhadap oposisi dan aktivis terjadi. Pasukan siber pun kembali turun tangan dan kritik yang ada tak didengar. "Yang ada justru menggiring opini publik untuk menjadi setuju, memanipulasi sentimen publik agar mendukung kebijakan penguasa," kata Wijayanto.