TEMPO.CO, Jakarta - Munculnya sejumlah versi UU Cipta Kerja dengan sejumlah perubahan pada subtansi pasal setelah disahkan DPR dalam paripurna pada 5 Oktober 2020 menjadi tanda cacat formal. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan perubahan subtansi setelah pengesahan menunjukkan rendahnya legitimasi dalam perumusan Undang-undang tersebut. "Dari sisi legal, itu sudah melanggar," katanya seperti dikutip Koran Tempo edisi Selasa 13 Oktober 2020.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, DPR memiliki waktu 7 hari untuk merapikan draf undang-undang yang disahkan kepada Presiden. Namun, menurut undang-undang, yang boleh diubah hanya kesalahan ketik dan penyesuaian format tulisan. Perubahan subtansi tidak diperkenankan karena bakal mengubah materi Undang-undang. "Mengubah satu ayat pun tidak boleh. Itu sama dengan pencurian pasal," ujarnya.
Kemarin, Baleg DPR merampungkan perbaikan draf Undang-Undang Cipta Kerja sebanyak 812 halaman. Sebelum itu, ada juga versi 1.035 halaman. Jika dibandingkan dengan draf setebal 905 halaman yang beredar pada usai pengesahan pada 5 Oktober 2020 ada sejumlah perbedaan subtansi.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan perubahan naskah UU Cipta Kerja menjadi 812 halaman mengalami perbaikan salah ketik dan perubahan format kertas dari ukuran A4 menjadi ukuran legal. "Kan tadi pakai format A4, sekarang pakai format legal jadi 812 halaman," kata Indra ketika dihubungi, Senin, 12 Oktober 2020.
Indra juga tak merinci saat ditanya adanya kemungkinan perubahan substansi dari naskah teranyar ini. Dia mempersilakan hal itu ditanyakan kepada pemerintah. "Saya enggak bisa bicara substansi, saya administrasi saja," kata Indra.
Tempo pun memeriksa naskah UU Cipta Kerja versi 812 halaman. Dalam naskah terbaru ini ada penambahan di antara Bab VIA, Bab VI dan Bab VII. Bab ini mengatur tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang Berkaitan dengan Pajak dan Retribusi.
Bab VIA ini terdiri dari enam pasal. Ada tiga pasal tambahan, yakni Pasal 156A, Pasal 156B, dan Pasal 159A. Kemudian ada penambahan dan perubahan ayat pada Pasal 157 dan 158.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan penambahan atau pengurangan satu kata dalam undang-undang bisa berdampak sangat luas. Bisa jadi, kata dia, apa yang sudah disepakati bermakna lain ketika ada perubahan subtansi dalam Undang-undang.
Tulisan lengkapnya baca Koran Tempo edisi hari ini Selasa 13 Oktober 2020.