Hal yang sama disuarakan sejumlah organisasi guru dan pendidik. Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa bahkan secara tegas menyatakan akan menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Kami akan memperjuangkan melalui judicial review ke MK," ujar Ketua Umum PKBTS, Cahyono Agus lewat keterangan tertulis yang dikutip pada Rabu, 7 Oktober 2020.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Achmad Baidowi mengatakan Pasal 65 tersebut hanya sebatas menyangkut perizinan usaha bidang pendidikan di kawasan ekonomi kreatif (KEK). Ketentuan terkait hal ini nantinya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP).
"Ini untuk menjembatani rencana pendirian lembaga pendidikan di KEK, karena di KEK itu kan orang kaya semua gitu lho. Tapi di KEK, yang boleh mendirikan lembaga pendidikan adalah pemerintah dan BUMN," ujar Baidowi kepada wartawan.
Adapun Syaiful Huda menyebut, pasal tersebut masih rancu dan tetap membuka peluang komersialisasi pendidikan. "Kalau bunyinya begitu, saya kira publik dan kita semuanya masih cukup curiga, ya, akan mendorong kapitalisasi pendidikan. Kalau itu terjadi, tentu tidak sesuai dan senapas dengan UUD kita. Pendidikan tidak boleh masuk ranah komersialisasi," ujarnya.
Untuk itu, Huda mendukung langkah para organisasi guru dan pendidik yang menolak Pasal 65 UU Cipta Kerja untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan pasal 31 UUD 1945 hasil amandemen menyatakan bahwa pendidikan itu merupakan hak yang dimiliki oleh setiap warga dan negara wajib memenuhinya dalam kondisi apa pun.
"Kepada semua stakeholder pendidikan yang tidak setuju tetap tercantumnya pendidikan di Pasal 65 UU Cipta Kerja, saya dorong menggunakan hak konstitusional melalui Judicial Review," ujarnya.
DEWI NURITA
Baca juga: Klaster Pendidikan Masuk UU Cipta Kerja, Tamansiswa akan Gugat ke MK